KEANU
Malam dengan hujan
selebat ini, seperti biasa hati dan otakku sedang sibuk melakukan konspirasi.
Sementara aku, sedang santai minum kopi.
Aku membuka layar dihandphoneku, bercengkrama dengan
linimasa mencoba untuk mengusir sepi. Kulihat disana update status dari beberapa orang yang aku follow. Sebagian besar teman-temanku, sebagian lagi orang-orang
yang mencuri perhatianku hanya karena profil picturenya yang sepertinya menarik
untuk diisengi. Yah, namanya juga laki-laki. Masing-masing dari mereka larut
dengan ceritanya sendiri, “Attention addicted whore”, kataku nyinyir sendiri.
Aku merefresh timeline Twitter-ku berkali-kali, tak ada yang menarik lagi. Scrolling timeline kini menjadi
satu-satunya hal yang bisa kulakukan selain membuka beberapa portal berita.
Sampai akhirnya nama itu muncul juga.
@jejennar : Take me to
the place where I can possibly stay without my insomnia.
Seperti mendapat
pencerahaan, jari-jariku otomatis merespons deretan katanya.
Reply to @jejennar :
@kwords : Tidur Master, besok banyak rencana yang mesti diobrolin :D
Aku
menunggu notifikasi dilayar hapeku. Menunggu reply dari yang bersangkutan
selanjutnya. Aku sempatkan masuk ke dalam linimasa pemilik akun @jejennar itu,
berharap menemukan hal menarik yang bisa mengusir bosan. Lebih tepatnya,
berharap siapa tau ada sesuatu yang menarik lain yang dia simpan disana. Aku
bakar kembali rokokku, sambil bersandar di teras kamarku. Aku lihat dengan
seksama beberapa percakapannya dengan orang-orang di timelinenya. Beberapa
update statusnya membuatku bertanya, kehidupan macam apa yang sedang dia jalani
sehingga setiap kalimat yang dibuatnya berhasil menyeretku ke dalam ribuan
kejanggalan. “Ah cuma status Twitter,” kataku mencoba tak peduli.
Beberapa
menit berlalu, tak ada tanda-tanda adanya pesan baru dari notifikasiku. Ku betulkan letak sweeterku, kunaikkan
retsletting-nya setinggi leherku dan menghela nafas panjang. Kuberjalan menuju
kamarku sambil sesekali menepuk-nepuk dadaku, membaringkan tubuhku yang sedari
tadi menggigil. Bandung malam ini dinginnya memang sedikit keterlaluan, deras hujannya
menambah suasana menjadi semakin beku. Kututup seluruh tubuhku dengan selimut,
mencoba menutup mataku sambil mencari cara untuk menemukan rasa kantuk yang keberadaannya
tak juga aku rasakan.
Tak
lama kemudian, nada getar handphone menegurku untuk berhenti dari usahaku
menidurkan kegelisahan.Kali ini ada BBM masuk di nitofikasiku. Nama Jenna
sedikit melegakan.
Jennara : Tidur kali…
Haha sinyal hapeku jelek banget, gak bisa reply Twitter.
Kusingkap selimutku,
meletakkan bantal dibelakang punggungku. Mencari posisi yang paling nyaman untuk
mengobrol dengan kesukaan baruku.
Aku : Gak bisa tidur
Master..
Jennara
is typing…
Tak kututup halaman
chatt-ku dengannya, aku terdiam menunggu.
Jennara : Kebanyakan
kopi sih sama rokok
Aku : Kamu dukun?
Jennara
is typing…
Aku
bukan sedang bercanda, tapi Jenna ada benarnya kopi dan rokokku malam ini agak
berlebihan. Tak kusangka, mengusir bosan membuat nafas dan perutku sama-sama
tak enak dan aku sedikit kewalahan. Tanda bahwa Jenna sedang mengetik untuk
membalas pesanku menghilang. “Ah jangan-jangan sinyalnya buat chatting jelek
juga’. Aku ngedumel sendiri sambil memegangi dadaku yang sedari tadi memang
sedikit sesak. Lalu hapeku bergetar lagi.
Jennara : Kalau aku
dukun, sekarang ini kamu sudah pasti aku buat tidur.
Aku : Haha kalo gitu
kamu jadi Master Hypnotis aja.
Jennara : Gak usah jadi
Master juga kamu bisa aku Hypnotis.
Aku : Try me..
Jennara : Not this time
Aku : When?
Jennara : Gak ada
kerjaan banget sih.
Aku : Hmm.. Besok main
Bilyard yuk, seru kayaknya. Kebetulan siang aku gak ada kuliah.
Jennara : Ngigo deh,
aku kan kerja.
Sisa
malamku kali ini kuhabiskan separuhnya
dengan cekikikan. Sesak di dadaku pun berhasil kualihkan. Jenna tak hanya
menyita perhatianku tapi juga menyita separuh waktuku. Semoga ini hanya urusan
bisnis semata. Karena tak pernah kubayangkan, berkirim pesan dengan pacar orang
akan menjadi semenarik ini. Kalau saja tadi taka da urusan dadakan, sudah pasti
waktuku dengannya bisa lebih lama lagi. Aku ingin menjelaskan tentang sore
tadi, namun nampaknya Jenna tak peduli sama sekali.
Aku : Gimana
insomnianya mau hilang, jam segini kamu masih on fire banget.
Jennara : On fire itu
satu kata yang pas buat kamu yang daritadi cari cara buat dapetin lawan bicara.
Aku : Dukun kan J
Jennara : Tidur kamu..
Aku : Sampai ketemu
besok yaa..
Jennara : Nanti siang
maksudnya.
Keanu : J
Aku
lihat jam dihapeku, sudah menunjukkan pukul 3 pagi. Biasanya bertukar pesan dengan
seorang perempuan tak pernah membuat otakku bekerja semaksimal ini. Ingin cepat
besok rasanya. Eh iya, siang nanti.
“Jika
nanti kamu mencari kebahagiaan serupa ruang untukmu berbicara, jangan sungkan
masuk ke dalam pikiranku. Disana kau akan menemukan kita di dalam setiap
sudutnya” – Keanu
----,----
Siang
ini, entah sudah berapa banyak peraturan
lalu lintas yang aku langgar. Dari mulai melewati bahu jalan, menerobos lampu
merah, memutar arah sesuka hati karena menghindari kemacetan yang cukup panjang
dan memarkirkan kendaraanku sembarangan sehingga menimbulkan kebisingan. Bunyi
klakson protes dimana-mana dan hanya kubalas dengan “Sorry, buru-buru.”
Kemudian disambut dengan gerutuan-gerutuan menyebalkan yang sudah pasti aku
hiraukan . Kalau saja bukan karena hujan dari semalam memang tak berhenti,
sudah pasti banyak polisi berkeliaran dan ijin mengemudiku sudah pasti langsung
dicabut ditempat.
So if I decide
to waiver my chance to be one of the hive
Will I choose
water over wine and hold my own and drive, oh oh
It's driven me
before, and it seems to be the way
That everyone
else gets around
Lately, I'm
beginning to find that when I drive myself, my light is found
Drive - Incubus
Semua kekhawatiranku lenyap seketika, senyumku
mengembang sesaat aku sampai di tempat yang menjadi tujuanku.“Ken, aseli lah
gue mual ini kalau lo nyetirnya kayak gitu.” Meow masih berpegangan pada
sitbelt-nya sambil menyeimbangkan nafasnya. Aku hanya tertawa, bersandar dibangku
kemudiku. Kuraih hape-ku dan kubuka sisa chatt-ku semalam.
Aku : Ayo Master kita
keluar..
“Kalau
mau jadi orang sukses emang harus gini Mew, on
time! Liat aja tuh di Jepang aja orang-orang jalannya pada cepet gak ada
yang lambat.” kataku sambil cekikikan. “Gaya lo Ken, on time banget mau kemana
sih? Lagian itu orang Jepang jalan cepet bukan kebut-kebutan.” Meow masih tak
mau kalah. “Yang penting tujuannya sama Mew, sukses.” Kataku tak mau ambil
pusing. “Tadi bukannya kita mau main Bilyard ya, kok malah parkir disini?” Meow
terheran-heran karena berada di sekitaran daerah Trunojoyo. “Kita main Bilyard
gak cuma berdua lah udah kayak homo”, jawabku asal-asalan. “Lah emang anak-anak
yang lainnya pada disini?” Cepat atau lambat Meow pasti menyadari jika ada yang
lain dari kebiasaanku. Dia sahabat yang bukan aku kenal sehari dua hari. “Gue
jemput lo paksa sampe ngebut-ngebut bukan buat di interogasi.” Aku tertawa
mengalihkan, daripada Meow terus memancingku dengan pertanyaan-pertanyaan
jebakan. Tak lama hapeku berbunyi.
Jennara : Aku lagi
kerja lho ini..
Aku : Ijin ajalah,
bilang aja ada keperluan atau apa kek gitu. Masa mesti diajarin. Kamu kan
Masternya.
Jennara : Kamu dimana?
Aku
tersenyum melihat respons Jenna yang super cepat. “Ayo dah bergerak kita”. Aku
merapikan rambutku dan mengambil tasku kemudian bergegas turun. “Oh… gue paham,
ya ya ya… Ngapain parkir disini sih, kan mesti hujan-hujanan. Kenapa gak di
depan tempat kerjanya langsung jemput Tuan Puterinya?” Meow menelisik dibalik
nada meledeknya. Sial! Meow rupanya pantang menyerah juga. Umpatku dalam hati. “Ya
biasalah, kan biar drama dikit dan kita perlu lihat yang sedikit manis jangan cuma
yang pahit-pahit, liat cowok mulu kan mual gue juga lama-lama.” Aku bercanda
seadanya. Aku memarkirkan kendaraan agak jauh dari letak tempat Jenna bekerja alasannya
cuma satu, jalanan yang satu arah dan serba macet membuatku memilih berjalan
kaki untuk menghemat waktu. “Okay… Jadi sekarang lagi kesini terus ya Bro..”,
katanya lagi sambil mengangguk-anggukan kepalanya. “Lumayan Mew, Jenna itu
pintar dan gak tau kenapa gue percaya dia bisa ngarahin pola pikir gue” kataku
datar menerawang.“Yah kalau emang sreg gas terus aja bro”, Meow tersenyum
seolah membaca ekspresi wajahku. “Gak bakalaaaaan… pacar orang begooooo”,
kutoyor sahabatku mencoba untuk berlaku senormal mungkin. “Yang kawin aja bisa
cerai, apalagi yang pacaran mas broooo”, Meow terus saja memojokkanku. Harusnya
aku biasa saja, bercandaan seperti ini bukan cuma sekali atau dua kali kami
lakukan. Tak jarang Meow selalu menjadi orang yang pertama tahu, jika aku
sedang dekat dengan urusan perempuan yang selalu datang dan pergi dalam
kehidupanku. Tapi kali ini ada yang sedikit berbeda. Aku hanya bisa terdiam
menelan perkataanku sendiri. Aku mencernanya di dalam otakku kemudian
menghasilkan keresahan. Urusan yang aku hadapi kali ini lebih rumit jika harus aku
jabarkan. Jangan sampai aku main perasaan dengan pacar orang. Tidak ada niat
untuk mempermainkan siapapun. Aku datang untuk bersenang-senang, sama seperti yang
sudah-sudah. Jika kali ini aku mendapatkan sedikit pelajaran, aku anggap itu
bonus tambahan.
Aku : Di depan tempat
kerja kamu.
Aku dan Meow segera merapatkan diri ke balik teras Toko,
hujannya sudah tak sederas semalam tapi saja berjalan dengan jarak yang lumayan
membuat kami basah kuyup juga, “Bener-bener dah lo Ken, basah semua ini udah
kayak kucing kecebur got kita.” Meow meniup-niup tangannya yang nampak
kedinginan. Aku menoleh ke dalam Toko, hanya ada seorang shopkeeper disana, termenung mendengarkan lagu.
Aku
menengadahkan kedua tanganku untuk menyentuh sisa-sisa air yang bercucuran,
mencoba berkomunikasi pada hujan. Hujan, sungguh malang nasibmu. Diantara
ribuan puisi Indah yang memuja namamu, kenyataannya sebagian besar kalimat itu
adalah berupa makian. Yang mengumpat kedatanganmu, yang kadang tiba-tiba.
Sepasang
tangan yang hangat menutup bagian mataku yang hampir beku, semilir angin
mengantarkan bau parfume itu langsung ke indra penciumanku. Tanpa harus melihat
aku sudah tahu siapa yang berdiri di belakangku. Kusiramkan air hujan yang
kutadah dalam dua tanganku, tepat ke wajahnya. Diapun menjerit dan langsung
menghantamkan tangan lembutnya ke arahku. Kita berdua sama-sama basah lalu
tertawa besama.
Jenna
sibuk melap wajahnya dengan tissue, aku perhatikan ekspresi perempuan yang ada
dihadapanku saat ini. Dalam hati aku bertanya-tanya, apa iya perempuan yang sok
pintar ini sanggup mengajariku segala hal. “Aduh kalian ini bener-bener kayak
di Film India asli lah”, Meow menggeleng-gelengkan kepala. “Emang dasar dia nih
perusak acara lah, percuma aja sengaja bangun pagi buat make-up an selama dua
jam kalau kayak gini caranya”Jenna nyerocos sambil terus asik dengan
tissue-tissue diwajahnya. “Jadi hari ini kamu dandan Master? Buat jalan sama
aku?” Kataku menambahkan. “Emang tampang aku sekarang kelihatan kayak orang
yang siap jalan?”Jenna mencondongkan tubuhnya ke arahku, aku mundur selangkah
dan menelan ludah. “Gak juga..” jawabku parau. Tampangmu kelihatan kayak orang
yang harus aku peluk Jennaaaaaaaaaaaa. Teriak hatiku, kencang sekali. “Ayo Mew,
nanti keburu hujan deres lagi”, aku melemparkan kunci mobilku kearah Meow lalu
berjalan sambil menarik tangan Jenna. Seolah sudah tau, Meow hanya mengangguk
tanda setuju.
Kami
berceloteh di tengah hujan, seolah tak keberatan untuk kedinginan. Saat
sebagian orang memilih terdiam mencari sebuah naungan, dia hanya menikmatinya
dengan seribu senyuman.
“Aku rela
menunggumu di bawah tamparan hujan, untukmu penantian itu sepadan.” – Keanu
Aku
masih menunggu kalimat makian, karena mengajak seorang perempuan yang harusnya
bisa duduk tenang kini basah kuyup bukan kepalang. Namun lagi-lagi hanya
lontaran kalimat menyenangkan yang kudapatkan.
“Ken
gak apa-apa nih joknya jadi basah begini?” setibanya di dalam mobil. Aku hanya
bergumam “Kamu tiupin sampe kering Master”. Aku duduk di bangku belakang
bersama Jenna, Meow kini mengambil alih kemudi. “Jadi, mau kemana Nyonya dan
Tuan?” Meow yang sedari tadi hanya menyimak kini mulai membuka suaranya. Jenna
sepertinya baru sadar, bahwa ada yang tak beres dari letak duduk kami, kulihat
pandangannya sedikit mengawasi. “Jadi? Kamu sekarang asal main culik aja nih?”
tanyanya gusar. “Gak bakalan ada culik yang mau bilang” kataku menggodanya.
Jenna membenarkan letak duduknya, kali ini dia mendekat kearahku. “Siapa juga
yang mau tau?”dia tersenyum. Otomatis gusar itu hinggap pada diriku. “Cepetan
Meow ngebut ahh. Aku mundur sedikit kebelakang tempat dudukku, mencoba
berprilaku senormal mungkin. Sejak kapan? Aku takut terlalu dekat dengan
perempuan?
Semakin
sore jalanan Kota Bandung macetnya bukan kepalang, setelah menunggu dengan
penuh kesabaran, akhirnya kami sampai di tempat Bilyard di daerah Dago yang
biasa aku datangi bersama teman-teman. Tak banyak kata yang keluar dari mulut
Jenna, sepanjang perjalanan hanya aku dan Meow yang sibuk mencairkan suasana.
Begitupun sekarang, dia hanya mengikutiku dan Meow dari belakang. Walaupun
tubuhnya ada dengan kami sekarang, aku sadar pikirannya sedang tersesat entah
di dunia bagian mana.
Untungnya
aku membawanya ke tempat yang tepat. Sesaat setelah kami mulai memainkan
Bilyard, aku mulai dapat menemukannya kembali di kehidupan nyata. Kami bermain
selama satu jam dan sepertinya Jenna menyukai salah satu permainan ini. Untuk
seukuran perempuan, dia jago juga. Aku heran, kira-kira hal apa yang tak bisa
dia lakukan?
Sehabis
bermain bilyard, kami menyempatkan diri untuk sedikit bersantai di café yang
ada di tempat tersebut. Memesan minuman dan beberapa cemilan, hujan juga
ternyata meningkatkan nafsu makanku. Jenna duduk santai memperhatikan sekitaran
café yang saat itu tak terlalu ramai dan memilih tempat di balcon karena kami
berada di lantai 3. Aku sibuk memutar otak untuk mencari bahan pembicaraan.
Terus bercanda dengan Meow lama-lama bosan juga, karena tujuanku hari ini
hanyalah Jenna. Sepertinya Meow bisa membaca mimic wajahku. Ah, dia memang
sahabatku!
“Jadi Jen, kamu udah
berapa lama tinggal di Bandung”, Meow basa-basi seada-adanya. Jenna meneguk hot
peach tea di hadapannya sambil tersenyum. “Setahun mungkin yaa..” jawabnya
datar. “Awalnya kesini sama siapa? Ada saudara?” Meow melanjutkan, aku hanya
menyimak. “Gak ada, Cuma bosan aja sama Jakarta. Pengen nafas dulu sejenak”.
Jenna menjawab dengan jawaban yang sudah kuduga. Ada alasan lain pasti, aku sih
tak mau tau lebih banyak, hanya sedikit penasaran saja. Sama saja huh! Aku
perang dalam hati. “Berarti dia di Jakarta gak bisa nafas tuh Meow, saking
banyak asap kali di Jakarta”, aku ceikikan. “Haha bener banget itu..” Jenna
tertawa, manis sekali. Meow hanya menggeleng-gelengkan kepala saja. “Eh..
serius ah, kok bisa sampe kerja di Trunojoyo gitu? Ada kenalan apa gimana?”
Meow tetap meneruskan. “Serius Meow, hidup itu udah berat apalagi harus
ditambahin sama alasan-alasan yang gak terlalu penting. Buatku, sekarang aku
ada disini sama kalian dan aku senang, itu cukup” Jenna tersenyum, kini dia
mulai membakar rokoknya. Kata-katanya cukup menusuk pikiranku, yang selama ini
terlalu sibuk dengan alasan-alasan yang selalu aku pikirkan setiap hari untuk
mengisi semua kekosongan yang sampai sekarang aku tak tau itu apa. “Are you
sure? As simple as that?” Aku mulai terpancing. “Yes, I am pretty sure about
that. Kebanyakan dari kita terlalu mengkhawatirkan apa yang sudah dan belum
terjadi, sampai-sampai kita lupa untuk menikmati masa yang sekarang ini tengah
kita jalani.” Dengan wajah yang serius, Jenna terlihat dua kali lebih manis.
‘Kalau gitu, kamu sama sekali gak punya kekhawatiran apapun Master? Tanyaku tak
banyak berharap dengan jawaban yang aku dengar, sudah pasti jawabannya “Tidak”,
Jenna lagi-lagi hanya tersenyum dan terus menghisap rokoknya. Rasanya aku
seperti ditinggalkan menggantung di atap gedung. Jenna yang pikirannya ada
bersama kita disini, kini tiba-tiba lenyap entah kemana, begitu pikirku.
Jika ini adalah masa dimana aku harus khawatir, maka itu
adalah kamu yang menjadi alasannya. – Keanu
“Kamu gak balik lagi ke Kantor kan Jen?” tanyaku
membuyarkan lamunan Jenna.
Jenna hanya menggeleng sambil terus asyik dengan
rokoknya. Kuperhatikan dia melirik ke arah jam tangannya dan mengeluarkan
handphone-nya. “Aku langsung pulang aja Ken, udah jam segini juga”, katanya
kemudian.
“Terus orang kantor gimana?” Meow ikut penasaran.
Jenna melirik kearahku, “Itu sih Keanu yang harus
tanggung jawab”.
“Tau nih Ken, lo malah ngajakin anak orang bolos aja
sih”, Meow mengangguk-angguk sambil terus memasukkan makanan ke mulutnya.
Kayak gini aja terus sampai Jenna dipecat terus full
kerja sama gue yaa kan Meow”, dalam deretan kata-kataku, tersemat doa untuk
selalu bersama Jenna.
Meow seakan mengamini “Nah iya, kayak gini aja terus..
Yang bener makanya usahanya.”
“Kerjaan aku itu seneng-seneng terus, nanti Keanu bisa
lupa diri.” Jenna membenarkan letak duduknya dan merapikan tasnya kemudian
bergegas ke arah kasir. Aku sedikit terperanjak namun membiarkannya,
memperhatikan Jenna yang sangat santai.
“Wah kamu traktir kita Master? Makasih ya.. “Aku kemudian
mencairkan suasana sesaat setelah Jenna menghamipir aku dan Meow kembali.
“Sering-sering yaa Jen, besok lagi” kata Meow cekikikan.
Entah apa yang dia tertawakan, ekspresiku yang dibuat-buat atau sikap Jenna
yang selalu tak terduga.
“Doain aja ya semoga aku gak selalu sibuk” Jenna berlagak
sok cool dan memang cool sepertinya. “Yuk!” katanya kemudian.
Seperti mendapat perintah, kami berduapun mengikuti
perintah Jenna. Padahal dalam hati, aku masih ingin berada disini, lagipula jam
masih menunjukkan pukul 7 malam, habis darisini sudah pasti aku tak punya
tujuan. Lagipula aku sedang sangat bosan berada sendirian di rumah. Tak ada
jaminan juga untuk aku bisa lebih lama menghabiskan waktu dengan Jenna karena
sudah pasti dia akan kuantar pulang.
Kini aku yang mengambil alih kemudi, Meow dengan otomatis
kini duduk di bangku belakang. Jenna agak sedikit canggung, namun dengan wajah
sok tenangnya diapun melenggang membuka pintu depan dan duduk di sampingku.
Diperjalanan, aku sengaja mengambil jalan memutar.Rutenya kini agak sengaja aku
rubah, tadinya aku berniat mengantarkan Jenna terlebih dahulu, tapi entah
kenapa jari-jari tanganku malah mengarahkan setirnya ke rumah Meow. Akhirnya
kuputuskan mengantarkan Meow pulang duluan. Untung ada Meow, selama perjalanan
tak ada kekakuan hanya ada gelak tawa canda yang bahagia.
Akhirnya kami tiba di dekat rumah Meow, setelah
berpamitan aku masih terdiam di dalam mobil dan bingung karena inilah moment
aku hanya berdua dengan Jenna, entah mengapa aku sedik cemas. Tak biasanya aku
begini dengan perempuan, harus kuakui pesonanya melukai pride-ku yang terbiasa
dengan perempuan tipe bagaimanapun. Kini aku harus mengakui, aku bingung dengan
apa yang aku rasakan.
“Ini kita masih nunggu apa ya?” Jenna mulai membuka suara
sambil memutar-mutar cd mencari lagu yang dia ingin dengar.
“Gak nungguin siapa-siapa sih” kataku sambil sibuk
memainkan hapeku membuka timeline namun tak ada yang aku baca sama sekali,
pandanganku mendadak brur, aku sadar aku hanya mengalihkan rasa gugupku.
“Terus, kenapa kita masih disini dong?” Jenna bertanya,
menatap tepat kearah wajahku yang sedari tadi menunduk sibuk dengan
handphoneku.
Aku menarik nafas dan menaruh handphone, mengalihkan
pandanganku kini ke arahnya. “Iya Master, ini kita jalan pulang yaa.” Jenna
masih menatap kearahku seakan memerintahkanku untuk bergegas.
“Terima kasih” katanya.
Jalanan kali ini relative sepi, tidak sesibuk biasanya.
Mungkin karena hujan akhir-akhir ini selalu datang tiba-tiba, cuaca Bandungpun
menjadi semakin dingin dan membuat orang-orang lebih senang berada di bawah
naungan mereka masih-masing.
“Kamu ngekost di daerah dekat dengan Redi ya?” Tanyaku
memecah kesunyian.
“Dulu itu, sekarang udah pindah ke daerah Muararajeun”
Jenna menjawab singkat, tangannya masih sibuk membolak-balikan playlist music.
“Sekarang aku ngontrak rame-rame gitu, lumayan lebih hemat.” Sambungnya lagi.
“Hmmm.. sama pacarmu juga?” aku bertanya ragu-ragu.
Jenna hanya mengangguk sambil tersenyum.
Aku otomatis tertawa kecil, entah apa yang lucu.
“Besok Weekend libur kan Master? Aku jemput pagi ya,
jangan begadang malam ini” aku tak siap dengan ajakan, maka aku langsung
memutuskan membuat pernyataan, bahwa besok aku harus bertemu dengannya lagi.
Jenna melirik sejenak, dengan ringan dia berkata “Okay!”
Aku tersenyum kali ini, lega mendengar jawabannya.
Akhirnya kami sampai ke tempat Jenna tinggal, jalanan
menuju rumahnya relative sempit walaupun aku tau masih bisa untuk dilalui
kendaraan. Jenna memberikan saran agar aku cukup memarkirkan kendaraanku di
dekat Hotel di depan gank menuju rumahnya. Mungkin dia canggung takut ketahuan
pacarnya, pikirku. “Terima kasih, lagi yaa Ken” katanya. Aku hanya mengangguk
“Sampai besok yaa..” jawabku kemudian.
Aku termenung di dalam mobil, memperhatikan Jenna yang
berjalan menuju rumahnya. Aku tak beranjak sedikitpun, memandang penuh ke
arahnya. Berharap dia membalikkan tubuhnya ke arahku sekali saja, namun tak
juga terjadi. Sampai akhirnya Jenna lenyap ditikungan menuju rumahnya, dan aku
masih tetap termenung beberapa saat. Seperti baru saja terlepas dari aura
sihir, aku menghela nafas dalam-dalam, entah tenang atau malah cemas aku tak
mau tau.