Tuesday, November 10, 2015

7. Your charm can not distract me

JENNA

Udara malam Bandung yang dingin menyapu wajahku tak santai,  aku berjalan menyusuri jalanan tak terlalu luas yang sepi. Rumah di kiri kananku nampak tak berpenghuni. Bandung menggigil, pikirku sambil memangku kedua tanganku. Aku masih bisa merasakan sorot lampu mobil Keanu di belakangku, sepertinya dia membantu memberikan penerangan yang terbatas karena lampu jalanan yang redup dan lampu-lampu teras rumah yang berderet menjadi satu-satunya sumber cahayaku malam ini. Aku ingin membalikkan badanku untuk memastikan, namun udara yang menusukku membuatku kakiku seolah kaku dan terus mempercepat langkahku sampai akhirnya ditenggelamkan oleh sebuah tikungan.  

Kunci pagar berdecit saat kubuka, kuedarkan pandanganku. Rumah malam ini sangat sepi tidak seperti biasanya. Aku langsung berjalan membuka pintu dan masuk ke dalamnya. Suasana seisi rumah saat itu gelap gulita, hanya lampu luar saja yang dibiarkan menyala. Dalam rumah yang cukup luas ini, aku tidak tinggal sendiri dan biasanya rumah ini selalu ramai tidak pernah sesepi ini. Aku membereskan beberapa barang yang masih berserakan di ruang tamu. Bekas makanan dan asbak rokok. Merapikan sprei kasur yang biasa digelar di sela-sela ruang tamu persis dihadapan tv. Kemudian berbalik arah menuju kamar, menyalakan lampu dan merebahkan tubuhku di atas kasur. Kuedarkan pandanganku kesekeliling kamar, ada notes berwarna kuning terang tergantung di pinggir meja riasku. Aku bangun sejenak dan mengambil notes tersebut. Terpampang deretan tulisan yang tak asing lagi dimataku, Senja.

Dear Jenna,
Aku pulang ke rumah flight terakhir malam ini. Sorry gak nunggu kamu pulang dulu. Anak-anak di rumah juga pulang semua. Mendadak dapat tiket pesawat promo. Quota internetku habis dan aku belum isi pulsa. Nanti aku kabarin as soon as I arrive. Take care.

Sincerely, Senja

Hanya itu? Pikirku. Aku meghela nafas panjang dan kuraih handphoneku. Kucari nama Senja di list BBM dan mulai mengetik sederetan kalimat.

Jennara : I got your messages, take care dear. Call me asap.

Hanya ada tanda checklist satu saja tanpa ada tanda delivered. Aku mulai mengetik kembali.

Jennara : Mungkin nanti kalau udah mendekati tahun baru juga aku pulang ke Jakarta.

Lagi-lagi checklist satu, tanda pesanku pending. Ada sesak dalam dada, namun aku tak tau itu apa. Aku tau hubunganku dengan Senja sedang dalam keadaan yang tidak baik-baik saja. Alasannya masih tetap sama, sudah pasti karena ego kami berdua yang tak mau mengalah. Diantara kami berdua sama-sama tak ada yang mau mengaku salah. Karena memang benar-benar tak ada yang salah. Aku melanjutkan kembali mengetik beberapa kalimat, kali ini aku kirimkan melalui pesan singkat.
Jennara : Aku tau kamu lelah denganku, aku tau kamu masih muda dan banyak yang harus kamu kerjakan untuk mencapai semua mimpimu dan menghidupi cita-citamu . Merampas satu-satunya kebahagian yang kamu punya memang bukan hak-ku.

Yes, kali ini delivered. Jari-jariku dengan lincah mengetik kembali.

Jennara : Selamat berlibur, selamat berkumpul bersama keluarga dan teman. Have fun!

Aku melanjutkan kalimatnya lagi.

Jennara : Berkabar!

Semua pesanku kini delivered. Ada nada sedikit kesal dalam pesanku, karena merasa ditinggalkan begitu saja. Aku berpikir sejenak.

Jennara : I’m gonna miss you…

Pesan yang terakhir tak jadi kukirim, tersimpan rapi dalam draft message ku.

 Hanya memandangi layar handphone mengharapkan adanya balasan. Namun tak kunjung notifikasi handphoneku menunjukkan keberadaannya. Aku berjalan kembali ke dalam rumah, aku terdiam mematung. Rumah yang biasanya ramai karena ada 5 kamar dan semuanya terisi kini tampak sangat suram. Sepi, hanya ada aku sendiri di rumah itu. Semuanya pulang ke kotanya masing-masing, menyiapkan liburan tahun baru yang panjang. Sepertinya ada bagian kecil yang hilang dalam diriku. Lagi-lagi aku harus menerima kenyataan, bahwa aku benar-benar sendirian dan tak punya rencana apa-apa. Aku berjalan menuju kamarku lagi, setelah memastikan rumah dan pagar kukunci. Hanya bolak-balik dari kamarku ke dalam rumah membuatku lebih gelisah. TV di kamar kubiarkan menyala, agar sekedar ada suara-suara, tak hanya suara nafasku saja yang terdengar jelas karena saking sunyinya. Aku bergegas mandi untuk sedikit merefresh kecemasan tak jelas yang sedang aku hadapi. Tubuhku sedikit menggigil setelahnya, aku melapisi baju tidurku dengan sweater dan menggunakan kaos kaki. Tiba-tiba notifikasi di handphoneku berbunyi, aku pikir Senja, ternyata nama Keanu terpampang disitu.

Keanu : Tidur Master…

Jennara : Kamu udah sampe?

Keanu : Aku lagi bosan di rumah, ini nginep di Hotel dekat Setiabudi. Dekat rumah juga sih.. Hahaha

Jennara : Ngapain?

Keanu : Bosan, biasalah..

Jennara : Gak ada kerjaan banget kamu tiap malem yaa..

Keanu : Kamu gak nanya aku disini sama siapa?

Jennara : Sendiri pasti kan, kamu berharap aku kesana nyamperin?

Keanu is typing…

Tak ada jawaban dari ujung sana, mungkin kata-kataku terlalu kasar. Suasana hatiku sedang tak terlalu bagus untuk basa-basi, Keanu jadi sasaran.

Keanu : Iya, mau kesini kamu? Makan surabi yuk..

Jennara : Boys!

Keanu : Dih kan cuma ngobrol disini Master, ngopi… Laper juga kan, Surabi enak juga.

Jennara : Ini kita lagi ngobrol. See you..

Keanu : Marah kan kan kan.. Becanda.

Jennara : Lucu.

Tak ada tanda-tanda Keanu merespons pesanku lagi. Entah apa yang aku pikirkan malam ini, hati dan pikiranku benar-benar sedang tak sinkron. Harusnya aku tak bersikap seperti itu. Keanu taka da hubungannya dengan semua ini, dia tak harus aku jadikan sasaran kekesalanku. Jelas-jelas aku yang sedang sendirian disini, harusnya Keanu adalah juru selamatku dari segala keheningan ini. Setidaknya aku tak hanya berbicara dengan diriku sendiri. Sebenarnya hatiku tak peduli andaikan Keanu tak bercanda sekalipun, aku ingin sekali langsung meluncur ke tempatnya. Dimanapun dia berada, aku ingin segera kesana yang jelas aku tak sendirian. Namun pikiranku masih mengumpatkan sejumlah makian terhadap Senja yang kali ini agak sedikit keterlaluan. Sebenarnya, aku lebih memilih perang besar-besaran dibandingkan ditinggalkan dengan perang sedingin ini, sendirian. Sepertinya Keanu memang masalah baru bagiku dan kekacauan dalam pikiranku sudah menemukan titiknya. Aku segera membuang jauh-jauh pikiran seperti itu. Untuk Keanu, pastilah mudah menarik hati perempuan. Aku hanya kesepian, itu saja. Aku meletakkan handphone dan menarik selimutku. Tak terasa air mataku mengalir, berbagai hal berkecamuk dalam pikiran. Ketertarikan akan Keanu, hubungan dengan Senja, semuanya menjadi satu. Sampai akhirnya fisikku tak lagi sanggup menampung semua pikiranku malam ini sehingga akupun tertidur dengan pulasnya.

Sayup-sayup kudengar suara orang berbicara dan banyak keramaian. Aku mencoba mencerna percakapannya dan ternyata itu hanyalah suara tv yang tak sempat kumatikan.  Aku memicingkan mataku, berusaha menghindari cahaya yang menyilaukan. Aku baru sadar, semalam tak sempat kututup gordeng jendela kamarku, wajarlah jika pagi ini aku dihujani ribuan cahaya. Aku sontak langsung menutupnya dan masuk ke dalam selimut lagi. Walaupun tidurku pulas entah mengapa aku bangun seperti orang yang terengah-engah, aku kelelahan dan tidur lagi.

Handphone-ku bergetar dengan volume ringtones nya nyaring sekali, aku langsung terbangun. Kulihat jam di dindingku sudah menunjukkan pukul 4. Aku kebingungan, 4 sorekah atau jangan-jangan sudah jam 4 pagi lagi. Aku mencari-cari handphone yang kini sudah tak lagi mengeluarkan suara-suara bising. Kulihat ada 11 panggilan tak terjawab, 36 notifikasi BBM dan 5 message di layar. Senja mungkin mencariku, setelah kubuka ternyata nama Keanu terpampang berderet di layar handphoneku. Senyumku otomatis terkembang, harusnya aku kecewa, bukan? Aku acuhkan panggilan tak terjawab tersebut, aku langsung membuka notifikasi message dan applikasi BBM nya. Disitupun berderet nama Keanu dan hanya beberapa broadcast message dari teman-temanku yang isinya entah apa dan semuanya hanya aku read saja. Aku berdecak kebingungan. Aku buka deretan phonebook mencari nama Senja namun sedetik kemudian kuurungkan dan otomatis ku ketik nama Keanu di bagian search.

“Hallo…” jawab suara disebrang telepon sana, dari nadanya saja sudah sangat terdengar kesal.

“Hallo Ken, aku baru bangun…”jawabku parau.

“Yah aku udah bisa dengar dari nada suara kamu kok” jawabnya lagi masih dengan nada kesal.

“Aku masih pengen istirahat” aku menambahkan karena tak ingin terlalu lama berbasa-basi.

“Eh gak bisa… aku udah parkir disini dari 5 jam yang lalu ya Master… Rokok aja sampe udah abis 2 bungkus!” nadanya melonjak jadi lebih kesal.

“Parkir dimana?” aku kebingungan sambil membuka gordeng jendela kamarku dan mengedarkan pandangan kesekitar tapi tak menemukan apa-apa di garasi ataupun di depan pagar.

“Dekat hotel yang kemarin aku nurunin kamu lah master, emang kamu pikir aku tau rumah kamu yang mana apa…” kali ini dia benar-benar kesal.

Aku tersenyum mendengar nada kesalnya. “Ya udah, kalau emang kamu udah disitu, kamu kesini aja. Tetep parkir disitu, terus kamu jalan kaki ke Gank yang kemarin aku masuk. Nah rumahku deretan nomer 3 dari tikungan, cat orange pagar hitam. Aku tunggu di teras” kataku panjang lebar.

Kamarku memang terpisah dari rumah utama, tepat berada di paling depan dan punya connecting door sendiri yang langsung mengarah ke garasi dan teras. Ku buka lebar-lebar jendela dan pintu kamarku sengaja kubiarkan udara segar masuk kedalamnya. Kuputar lagu untuk meningkatkan sisa semangat hidupku yang baru saja aku mulai sore ini.

When I can’t see right in your eyes
When I’m surrounded in the craziness of time
When you’re understanding is trying hard to stand still
When I wear layers of my pride you should..
Undress me… Undress me…
Unlock this chain and set me free
Remind me to be myself(Anggun – Undress Me)

Aku bergegas ke westafel, menggosok gigiku dan membasuh mukaku alakadarnya, masih dengan baju tidur yang melekat di tubuhku, aku memandangi cermin yang ada di hadapanku. Wajahku agak sedikit pucat namun kuabaikan. Aku mengambil Teh kotak dan membakar rokok, duduk di sofa teras rumah sambil memandangi sore yang cemerlang sehabis hujan.

Aku merasakan badai akan segera datang, namun aku tak terlalu menghiraukan. Aku terlalu terlatih hanya untuk urusan sekedar terjebak dalam urusan percintaan. Namun pilihan yang aku ambil sekarang mengharuskanku untuk mengambil segala resikonya. Kehidupan yang baru saja aku bangun sekarang atau kembali menjadi Jenna yang tak punya hati nurani, karakter yang aku buat sendiri yang mampu menyamarkan kelemahanku akan dilemma kehidupan yang tak pernah sederhana. Kali ini aku memutuskan untuk tetap berdiri disini, tak akan beranjak apalagi melarikan diri lagi. Jika hujan tak menghalangimu untuk tetap masuk dalam kehidupanku, mungkin badai akan menghentikanmu. Hingga saat itu tiba, aku akan tetap berada disini. Melihat apapun hasilnya, aku tak akan membalikkan diri.

Tak lama kemudian Keanu tiba diujung pagar sambil memasang muka yang kesal, tapi tetap menawan dan aku suka. Seperti biasa, dia tak pernah kemana-mana sendirian. Paling tidak, selalu ada sahabatnya yang mengikutinya, Meow. Aku sedikit iri dengannya, aku jadi merindukan teman-temanku. Disini, aku tak terlalu banyak mempunya teman dekat. Semuanya hanya kenal alakadarnya saja. Yang aku punya hanya Senja yang kini menghilang entah kemana. Aku tersenyum tanpa beranjak dari tempat dudukku. Keanu bersama Meow pun masuk karena memang pagarnya sudah tak ku kunci. Aku menyiapkan ketahanan telingaku dari  sederetan kata serangan yang biasa keluar dari mulut bawelnya.

“Assalamualaikummm…………. Jenna kamu tidur apa pingsan?” ternyata Meow yang mulai duluan.

Keanu hanya mengangguk-ngangguk sambil kemudian menyerahkan bungkusan plastik yang isinya Teh Kotak. Waduh! Pikirku.

“Waalaikum salam.. Aku cuma kecapekan aja kayaknya, duduklah.” Kataku sambil mengambil bungkusan yang Keanu sodorkan.

Tak sengaja tanganku bersentuhan dengan tangan Keanu. “Wow, kamu demam master, tanganmu panas banget!” Keanu langsung menampelkan telapak tangannya di dahiku. Aku tak merespon apa-apa, hanya menggelengkan kepalaku.

“Duh iya, ini sih demam tinggi!” kata Keanu kepada Meow, mimik wajahnya serius sekali.

“Minum obat Jen, istirahat lagi aja. Mukamu pucat begitu” Meow menambahkan.

“Aku gak apa-apa kok, Cuma emang agak gak enak badan aja mungkin karena kebanyakan tidur jadi agak pusing” kataku kemudian. “Makasih ya Teh Kotaknya” aku melirik ke arah Keanu yang sedang memandangiku.

Keanu hanya mengangguk dan mengedarkan pandangannya ke dalam rumah dan kamarku yang pintunya sengaja kubiarkan terbuka. “Itu Teh Kotak tinggal sisanya aja, tadi sih hampir ada sekardus. Gara-gara nungguin kamu, kita minum sampai sisa segitu.” Katanya tetap pada topik awal kekesalannya. Aku hanya tersenyum.

Meow sibuk melihat-lihat keadaan rumahku juga, namun sedikit frontal karena dia berjalan masuk kesana kemari.

“Pada kemana ini orang? Kok sepi banget?” tanya Keanu akhirnya.

“Udah masuk musim liburan, jadi mereka semua pada pulang ke Kampungnya masing-masing.” Jawabku.

“Senja juga?” Meow menambahkan.

Aku terdiam sejenak, “Iya” kataku datar. “Kamu kenal Senja ya?” tanyaku kemudian.

“Ya kenal lah, siapalah yang gak kenal Senja, vocalis band ganteng yang famous di kampus walaupun jarang banget ke kampus, Keanu juga udah pasti kenal. Senja juga pasti kenal kita-kita kok,” jawaban Meow benar-benar bukan jawaban yang aku harapkan.

“Terus kamu dari semalem sendirian di rumah?” tanya Keanu memotong pembicaraan.

Aku mengangguk pelan.

“Gak takut apa Jen? Rumahnya gede gini mana jadul potongannya. Horror nih… Merinding aku” Meow mengernyit sambil menunjukkan tangannya ke arahku.

“Ini apaan sih, kalian tim yang mau memburu hantu? Percuma pasti gagal, gak ada hantu disini dan rumah ini sama sekali gak menakutkan” aku nyerocos panjang lebar, padahal tak dipungkiri aku memang penakut.

“Aaaaaaaaaaaaaaaaak masteeeeeeeeeeeeeeeer aku bilang tadi udah nunggu diparkiran Hotel depan sana sekitar seabad dan kamu gak bahas juga???????” Keanu membuyarkan obrolannku dengan Meow.

“Kamu ini emang pinter banget ya cari perhatian.” Aku ngeles sebisa mungkin, ada perasaan tak enak dalam hatiku namun juga senang karena ternyata masih ada orang yang mencari aku.

“Iya lho Jen, padahal udah aku ingetin supaya kita balik lagi aja. Lagian suruh siapa dia main nyelonong dateng aja ya padahal belum ada kabar” kata Meow masih sibuk dengan tour-nya di sekitaran rumah, Keanu hanya diam dengan wajah yang kesal.

“Mungkin dia cuma khawatir Meow…” ucapan itu meluncur saja dari mulutku.

“Enak aja khawatir, aku tuh orangnya on time, kalau emang ada janji aku pasti langsung cepet siap-siapnya.” Katanya mengalihkan, wajahnya tertimpa cahaya sore dan aku tau pipinya merona.

“Ya khawatir juga gak apalah Ken…” aku menggodanya lagi.

“Ya emang khawatir tau Jen, disuruh balik dulu aja gak mau. Dia bilang tungguin sampai bener-bener ada kabar dari orangnya” Kini Meow mulai focus dengan Keanu tak lagi dengan rumahku yang kosong.

“Jadi gini ya, aku daritadi di mobil cuma minum Teh kotak. Aku laper.” Keanu kini berdiri dan mulai bertingkah.

 “Ya udah yuk, kita keluar cari makan?” aku menambahkan sambil tersenyum

“Gak, kita makan yang ada aja, kalau bisa delivery aja deh” Keanu memandangiku dari ujung kaki sampai ujung kepala dengan nada mencibir.

“Okay aku mandi” aku sadar dan mengehla nafas panjang.

“Gak! Mana nomer telepon delivery ordernya, kita disini aja.”katanya lagi.

“Ya aku gak mungkin juga pergi pakai baju tidur gini lah Ken..”kataku berusaha mengusir sedikit kekesalannya.

“Gak Master! Kamu itu sakit, pasti belum makan dari kemarin karena baru bangun barusan. Jadi kita diem disini aja, pesan makan sekarang. Masalah selesai.” Dia nyelonong masuk ke dalam kamarku dan mulai merebahkan diri di karpet di depan tv.

Aku tersenyum ke arah Meow yang daritadi juga tersenyum memperhatikan. Aku senang sekali mendengarkan celotehannya, sudah lama sekali aku tak mendengarkan omelan atau umpatan kekesalan. Aku baru sadar, Keanu memperhatikanku. Mungkin dia hanya tak ingin partner bisnis barunya mati. Hal itu membuatku geli dan tertawa sendiri. Akhirnya aku menelpon delivery order dari tempat makan terdekat. Harus aku akui, Keanu benar, aku tak makan sejak kemarin sore dan itu membuat perutku protes sekeras-kerasnya.

Akhirnya sore itu kehidupanku baru benar-benar dimulai. Walaupun kami hanya bertiga, namun suasana ramainya membuatku aman. Menjelang malam, hujan kembali membasahi bumi. Bau tanah yang tersiram airnya membuatku begitu nyaman. Kami bertiga berkumpul di kamarku, sambil mengobrol dan menonton DVD. Tak terasa malampun merambat dan kali ini sudah film ke-4 yang selesai kami tonton. Aku hanya berbaring di atas tempat tidurku, mebolak-balikan handphone berharap ada pesan dari Senja, aku sedikit khawatir karena hingga detik ini masih belum ada kabar darinya. Keanu dan Meow berbaring di karpet di hadapan TV. Kulihat Meow sudah tertidur pulas kekenyangan, sementara Keanu masih sekarang sibuk mencari-cari film ke-5 untuk di tonton lagi. “Udahan ah film horrornya, sekarang agak drama sedikit” katanya berbicara entah pada siapa. Aku hanya tersenyum melihat tingkahnya.

“Udah jam segini, kalian tidur sini aja yaa hujannya awet juga” kataku akhirnya.

“Ya iyalah Master, emang aku keliatan kayak orang yang siap-siap mau pulang apa? Lagian aku males juga balik ke Hotel” jawab Keanu sambil kembali merebahkan dirinya dan focus kembali kepada film pilihannya. Kali ini dia menonton film 500 Days of Summer.

Aku membetulkan letak tubuhku, kini aku duduk memeluk bantal tepat ke arah Keanu yang posisinya berbaring di bawah tempat tidurku. “Kamu kenapa sih gak pulang ke rumah aja malah nginep di Hotel?” aku penasaran juga.

“Kenapa? Kamu pikir aku becanda ya kalau aku gak pulang ke rumah?” Keanu malah balik bertanya, wajahnya tetap focus kepada film di depannya.

“Yah enggak, rumahmu tuh disini yah aku aneh aja sampe kamu gak balik gitu gimana ceritanya?” tanyaku lagi.

“Lagi ada kakak aku di rumah, aku males. Dia tipe orang yang suka cari perkara, lagian aku lebih suka sendirian kayak biasa”, jawabnya.

“Aku gak yakin kamu suka sendirian, kemana-mana kamu gak pernah sendirian. Selalu ada temennya kok. Sendirian itu kayak aku kemarin malem, nah itu baru sendirian.” Kataku tak mau kalah.

Kali ini Keanu membalikan badannya, wajahnya menengadah ke arahku“Yah suruh siapa kamu gak nyusulin aku aja”, Keanu tertawa seolah dia menang.

Aku berdiri bergegas ke dalam rumah mencoba mengacuhkannya.

“Mau kemana kamu?” Keanu mengikuti dari belakang.

“Cuma mau ambil extra bed, gak tega aku kalian tiduran di karpet.” Kataku.

Tanpa diperintah, Keanu langsung mengangkut extra bed yang ada di tengah rumah. Yang sengaja selalu digelar karena rumah ini memang tak pernah sepi pengunjung jika penghuninya lengkap. Aku terdiam mematung memperhatikan gerak-geriknya, pria ini walaupun selengean tapi tak pernah membiarkanku melakukan apa-apa sendirian, kali ini aku merasa dibutuhkan dan diperhatikan. Dia langsung menyuruh Meow untuk bergeser dahulu dan menaruh kasurnya di atas karpet. Dengan setengah sadar Meow hanya mengikuti perintah, kemudian lanjut tidur lagi. Keanu mengambil rokoknya dan berjalan ke teras kemudian duduk di sofa.

Dia mulai menyalakan rokoknya dan menggaruk-garuk punggungnya,“Disini enak juga yaa, sepi gak seramai pemukiman biasanya.” Katanya kemudian.

Aku berdiri di daun pintu dan mengiyakan masih sambil terus memperhatikan gerak-geriknya. “Biasanya cuma rumah ini aja yang ramai. Rumah sebelah itu kosong, aku juga gak tau udah berapa lama kosongnya. Dan yang di depan juga penghuninya jarang keluar. Jadi yah masing-masing aja walaupun keliatannya padat” kataku.

“Padahal kan aku bisa parkir di garasi sini, kenapa kamu malah suruh aku parkir jauh?” tanyanya sambil menghisap rokok.

Aku tak menjawab, hanya menikmati suasana malam yang terasa sangat nyaman sekali.

“Takut Senja salah paham ya?” sambung Keanu.


“Hubungan aku sama Senja lagi gak terlalu baik Ken..” akhirnya aku membuka suara.

“Lho? Kenapa?” Keanu mulai penasaran.

Aku menghampiri Keanu dan duduk disebelahnya. “ Yah gak kenapa-kenapa, emang harus lagi ada masalah aja kayaknya. Kalau ditanya kenapa, aku juga bingung jelasinnya. Udah 2 hari ini kita lost contact, semenjak dia pulang” kataku.

“Mungkin dia sibuk sama pacar barunya kali disana” Keanu mencoba bercanda, namun itu tak lucu dan aku tak perduli.

“Aku gak mau ambil pusing. Apa yang lagi aku jalananin sekarang, ya sekarang aja.” Kataku datar.

“Yah jangan sedih dong Master, aku Cuma bercanda” Keanu menepuk-nepuk pundakku.

“Sedih bukan nama tengahku” kataku mencoba tegar.

“Iyaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa Noersyaaaaaaaaaaaaaaaaaaaah………………..” Keanu setengah berteriak gemas.

“Ehhhhhhhhhh darimana kamu tau nama tengahku???” kataku kebingungan. Di Bandung ini Jennara saja, cukup.

Keanu mematikan rokoknya dan menarik tanganku. “Yuk ah tidur, udah malem. Besok kalau kamu udah enakan kita ke pabrik sepatunya temanmu itu” katanya sambil mengecheck dahiku lagi.

“Sorry yaa Master, gara-gara main hujan kemarin pasti tuh kamu jadi demam”, kalimatnya terdengar tulus, masih dengan menggenggam tanganku.

Wajahku datar, aku hanya mengangguk pelan dan tubuhku sedikit gemetar. Atau, memang hatiku yang berdebar, kencang sekali.

Keanu tak berkata-kata lagi, dia melepaskan genggaman tangannya dan merebahkan tubuhnya, menutupnya dengan selimut. Aku memperhatikannya, dalam hatiku aku merasa sangat nyaman. Pikiran tentang Senja sejenak aku singkirkan, aku hanya ingin menikmati malam yang begitu tenang seperti sekarang. Aku memperhatikan Keanu yang menghadap ke arahku. Terbaring dibawah tempat tidurku dan sudah menutup matanya. “Tidur Master… jangan laitin aku terus, nanti suka”, katanya dengan mata tertutup. Aku gugup namun tetap berusaha tenang, tak kusangka walaupun lampu sudah kumatikan dia masih dapat membaca mataku. Aku membalikkan posisi tubuhku menghadap kedinding, berharap malam ini tak cepat berakhir.

Beberapa bulan lalu, aku tidak pernah membayangkan kehidupanku akan berada dititik seperti ini, lagi. Aku pikir kehidupan baru yang jauh dari masalalu dan punya orang seperti Senja akan membuatku merasa aman. Namun aku sadar, aku tak bisa terus bersembunyi terus karena pada akhirnya aku berdiri di atas kakiku sendiri. Kali ini aku putuskan untuk menjadi diriku sendiri lagi, yang utuh. Apapun masalah yang sedang aku hadapai, tak akan lagi aku melarikan diri. Apapun perasaan yang sedang aku alami, akan aku utarakan tak akan aku simpan sendiri, lagi. Bukan berarti aku menjamin bahwa aku akan menjadi orang yang lebih baik, setidaknya hanya memberikan suntikan positive kepada diriku bahwa aku siap dengan segala resiko dan konsekuensi dari kehidupan yang telah aku pilih.

Kisah tepatnya sebenarnya aku tak ingin mengingat lebih dalam, kurang lebih bermula saat aku masih dalam fase anak-anak. Saat aku mulai mengerti apa yang orang dewasa katakan. Aku mulai mengerti dan mencerna mengapa selama ini aku tinggal bersama dengan nenek ku bukan dengan orang tua dan adik-adikku. Saat aku mulai mengerti mengapa pada saat aku masih kecil Ibuku tak pernah mengakui aku sebagai anaknya di depan seluruh keluarga besar. Ayahku memang tak pernah sampai sefrontal ibuku, dia tetap memperlakukanku dengan normal dan tidak pernah menyangkal langsung di hadapanku. Aku tau, ayahku hanya berusaha melindungi perasaanku dan aku sangat menghargai itu. Pernah suatu ketika, aku ingin sekali bertanya kepada orang tuaku, tentang apa alasan mereka seperti itu, namun selalu aku urungkan. Seiring berjalannya waktu dan bertambah juga umurku, aku dituntut untuk lebih dewasa dalam menyikapi semuanya. Aku dipaksa mengerti semua keadaan yang serba rumit itu. Entah dosa apa yang telah orang tuaku perbuat dimasa lalu sehingga rela menyakiti batinku tanpa mereka sadari. Seperti air yang mengalir, keluarga besarku mulai mengenaliku satu persatu, tanpa aku tau alasan yang sebenarnya, aku hanya mengikuti alur. Walaupun semuanya sudah dalam keadaan normal, dilubuk hatiku yang terdalam aku tetap mengharapkan penjelasan langsung dari kedua orang tuaku, khususnya Ibuku. Karena sejak kecil, aku sungguh sudah kehilangan sosok Ibu yang harusnya menjadi pelindung bagi anak-anaknya. Sosok ibu menurutku tak lebih dari seorang monster yang mungkin sanggup memakan anaknya sendiri. Beruntunglah aku mempunyai nenek yang senantiasa sabar membesarkanku dan menjadikanku anak yang tidak semena-mena dalam bertindak. Sehingga aku bisa menahan segala luapan emosiku hingga detik ini. Sosoknya sangat berperan penting dalam pertumbuhanku, dan cukup menggantikan sosok Ibu yang hilang dari ingatanku. Kata maaf dari mereka masih sangat aku harapkan hingga sekarang, walaupun aku tau itu tidak akan pernah terjadi.

Nah bagian intinya tepat pada saat aku lulus SMA, aku terpaksa berkuliah di Jakarta dan tinggal dengan keluargaku. Lingkungan yang asing, lingkungan yang baru untukku tidak pernah benar-benar membuatku nyaman. Aku selalu merindukan masa-masa aku tinggal bersama nenekku, karena setelah tinggal bersama keluargaku, kenyataan bertambah pahit saja. Ibuku selalu membeda-bedakan perlakuannya antara aku dan adik-adikku. Pernah suatu ketika, entah karena apa aku sedikit lupa, bajuku yang selesai dicuci sengaja dipisahkan dari baju lainnya. Ibuku memerintahkan pembantuku untuk tidak mensetrikanya. Aku hanya bisa mengelus dada pada saat itu. Sudah seperti kisah klasih Cinderella, bedanya aku menerima perlakuan seperti itu dari Ibu kandungku sendiri bukan dari Ibu Tiri. Itu hanya contoh kecilnya saja, contoh lainnya tak sanggup aku ingat satu persatu karena terlalu menyakitkan. Sebagai anak pertama, aku hanya mencoba mengerti, aku berpikir positif, mungkin Ibuku hanya ingin mengajarkanku menjadi perempuan yang mandiri dan kuat. Bagian yang itu aku ambil hikmahnya sampai sekarang. Kesan yang Ibuku tinggalkan ternyata tak selalu buruk, pikirku. Aku selalu cemas jika Ayahku tak berada di rumah, bukan karena Ibuku suka memukul, tidak. Beliau tidak pernah memukulku sama sekali. Hanya saja aku selalu berpikir, Ibuku tidak pernah melihatku sebagai anak, namun sebagai musuh. Apapunn kalimat yang selalu dia keluarkan, selalu saja mendarat di hatiku dengan tak mulus dan itu sangat menyakitkan. Entah mengapa, hal tersebut memicuku untuk terus melakukan percobaan bunuh diri. Hal yang sama sekali tak pernah terlintas sedikitpun pada awalnya, kini selalu aku lakukan walaupun tak pernah berhasil hingga detik ini karena aku selalu teringat dengan Nenekku.

Kehidupanku di luar, berbanding terbalik dengan kehidupanku di rumah.Tidak ada kesulitan untuk mencari teman. Aku mudah bergaul dan temanku ada dimana-dimana. Memanfaatkan tampangku yang lumayan, mencari pacar juga bukan hal yang sulit untukku.Hidupku berbanding terbalik 360% jika aku sudah berada di luar rumah, seakan-akan aku dapat menggenggam dunia. Taka da satupun teman-temanku yang tau detail masalahku. Hanya ada satu sahabatku Diana, itupun tak semuanya dia tau. Aku pandai menutupi semuanya karena aku paling mahir dalam hal bersenang-senang. Perhatian yang tidak aku dapat di rumah aku dapatkan di duniaku sendiri. Aku tak pernah sembarangan bermain hati, kadang aku sangat ingin seperti gadis remaja yang beranjak dewasa lainnya, yang terkadang galau, ekspresif namun aku tetap tak bisa memunculkan perasaan-perasaan seperti itu secara natural. Hal tersebut juga yang menjadikanku pandai berpura-pura berekspresi. Taka da satu orangpun yang benear-benar menegtahui perasaanku sesungguhnya. Jenna tumbuh menjadi seorang perempuan yang berhati dingin dan tak mengenal kehangatan kasih sayang. Seberapapun sok sweet-nya pria yang mendekati, tetap saja hanya kuhadapi dengan satu senyuman ambigu yang tak pernah seorangpun tau apa maksudnya. Aku bisa saja berpura-pura menyayangi orang lain, hal itu aku maksudkan hanya agar aku tak pernah kemana-mana sendirian. Di rumahku mobil berderet lengkap dengan drivernya. Tapi aku lebih memilih kemana-mana naik angkutan umum atau malah menumpang Ayahku yang tempat kerjanya searah dengan kampusku. Tapi itu jarang terjadi, karena pacarku selalu siap mengantarku kemanapun aku mau. Aku tak ingin menambah-nambah masalah lagi dengan Ibuku, hidupku yang sekarang, cukuplah aku yang tau dan mereka tak perlu tau.

Arwah pahlawan mungkin akan terharu melihat perjuanganku pada saat itu. Dimana aku menghabiskan waktu semalaman suntuk untuk betrpesta dengan teman-temanku, paginya aku harus tetap pulang seolah-olah habis mengerjakan tugas kuliah dan kemudian berangkat ke kampus lagi. Entah sadar atau tak sadar yang jelas orang tuaku tak terlalu mempermasalahkan hal tersebut, malah mungkin mereka tak peduli. Sebenarnya kehidupan ini tak sepenuhnya membuatku nyaman, bukan diriku yang seperti ini yang aku harapkan. Namun pada saat itu aku tak punya pilihan lain.

Sampai kemudian konflik yang sesungguhnya terjadi, Ayahku ternyata mempunyai istri lagi. Orang tuaku memutuskan untuk bercerai. Aku tak terlalu ingin ambil bagian dalam hal tersebut, namun sebagai anak pertama aku harus dapat menjadi contoh yang paling tegar yang harus bisa mengobati perasaan adik-adikku yang terluka. Yang lebih parah lagi, dengan bertambahnya kejadian itu, perasaanku terhadap apapaun yang bernama kasih sayang seolah-olah bertambah lenyap entah kemana. Aku sempat memutuskan untuk tak lagi mencintai pria manapun, separuh hidupku saat itu aku habiskan hanya dengan bersenang-senang, mengabaikan kenyataan dan aku tak ambil pusing.

Seiring berjalannya waktu, perasaan sedih tak menentu karena kehilangan sosok berharga dalam hidupku ternyata tak dapat begitu saja lenyap dalam pikiranku. Tak jarang rasa rindu akan hal tersebut menyerangku tepat ke dalam hati nuraniku. Aku ternyata hanya seorang perempuan biasa yang mencoba berjuang mati-matian untuk mengabaikan segala rasa. Aku juga ingin sembuh dari luka batin yang selama ini menggerogotiku dari dalam. Emosiku disni bermasalah. Aku kesulitan mengungkapkan apa yang aku rasakan. Hingga aku akhirnya tak sanggup lagi membendung rasa ini lebih lama lagi Aku putuskan untuk berkunjung ke psikiater untuk membuat segalanya lebih masuk akal. Dengan hati-hati aku berdrama secantik mungkin agar dapat berkunjung ke tempat praktek dokter tersebut tanpa ketahuan siapapun. Namanya Dokter Elsa, lokasi prakteknya adalah di daerah Kemang, aku memilih langsung menemuinya di rumahnya yang juga merupakan tempat prakteknya.Ada beberapa fase yang kami lakukan, yang awalnya aku agak canggung akhirnya aku mulai bisa terbuka dengannya. Yang aku ingat, fase awal aku berkunjung ke tempatnya hanya kuhabiskan dengan diam selama 30 menit lalu kemudian pulang. Setelah beberapa kali mengikuti sesi bercerita bersama Dokter Elsa dengan sederetan tes seperti tes urin dan tes darah juga tugas-tugas yang panjang seperti mencatat suasana hati yang aku rasakan setiap hari, pola tidurku dan sederet list lain yang bersangkutan dengan masalah kejiwaan. Seperti menulis buku harian saja, dan itu bukan masalah untukku karena aku memang sudah terbiasa menulis buku harian. Bukan maksud berdrama, namun aku benar-benar mempunyai kesulitan untuk mengungkapkan apa yang aku rasakan sehingga aku lebih memilih untuk menuliskannya di buku harian. Akhirnya segala yang aku alami menjadi masuk akal. Walaupun aku harus menelan kenyataan pahit bahwa aku di diagnosis mengalami gangguan Bipolar. Perubahan suasana hati secara drastis yang aku alami, perasaan yang terjadi ketika periode tersebut dan kapan periode tersebut terjadi, sekarang semuanya lebih masuk akal.

Dokter Elsa memang menjelaskan secara rinci tentang masalah gangguan tersebut, namun aku tetap mencari tau lebih dalam di internet. Gangguan bipolar adalah salah satu masalah kejiwaan yang membuat penderitanya mengalami perubahan suasana hati secara fluktuatif dan sangat drastis. Tak heran mengapa pada saat aku bersenang-senang, suasana hatiku bisa menjadi sangat murung dan moodku bisa sampai drop secara drastis sampai-sampai aku menangis. Pada fase turun atau biasa disebut periode depresi itulah kadang aku bisa sangat menderita sampai-sampai selalu terlintas untuk mengakhiri hidup. Berbeda pada saat fase naik atau mania, aku bisa sangat bersemangat dan banyak bicara. Fase itu yang membawaku ke pergaulan dan membawakanku banyak teman-teman yang luar biasa. Untungnya dalam-dalam masa seperti itu, aku masih mengalami keadaan normal dan perputaran fase tersebut tak terlalu cepat terjadi dalam gejalaku. Tak sampai memakan waktu sampai berminggu-minggu.
Salah satu penyebab dari gangguan tersebut adalah karena stress. Banyak kasus gangguan bipolar yang terjadi karena sering mengalami tekanan dalam hidup, contohnya dalam kasus aku sekarang.Selain stress, gaya hidup negative juga diduga menjadi ambil bagian dalam dampak terbentuknya penyakit tersebut, seperti alcohol dan obat-obatan, aku dipilihan pertama dan tak jarang mengkonsumsi obat penenang hanya untuk mengistirahatkan diriku dari segala kehidupan yang pahit. Pengecut, memang.

Pengobatannya sendiri tidak ada yang sebentar, itu harus dilakukan dengan jangka panjang. Oleh karena itu, meski aku bilang pada Dokter Elsa bahwa aku dapat mengatur emosiku sekarang, dia tetap tak menyarankanku untuk tidak melepas pengobatan karena dirasa belum cukup. Hanya untuk menghindari efek buruknya. Seperti percobaan bunuh diri jika aku sudah berada dalam fase depresi. Dokter Elsa berpesan padaku untuk memperbaiki pola hidup dan tetap mengikuti terapi psikologis. Aku ambil option pertama untuk memperbaiki pola hidup namun aku tinggalkan fase yang kedua karena aku rasa cukup.

Setelah aku mengetahui apa yang terjadi padaku, aku lebih banyak berdiam diri dan merenung. Aku mulai berpikir untuk memperbaiki kehidupanku. Aku banyak melakukan meditasi dan melakukan Yoga. Aku menenangkan diriku sendiri tanpa bantuan obat apapun. Aku mengurangi frekuensi untuk keluar malam dan berpesta. Karena jika aku berubah secara drastis sudah pasti pacar teman-temanku akan mempertanyakan. Aku banyak menghabiskan waktuku di café dan membaca berbagai macam buku. Aku iseng membuat tulisan-tulisan yang menggambarkan luapan emosiku, aku tuangkan ke dalam sebuah cerita yang aku tulis diwaktu sengganng dan kuberi judul Run. Awalnya pacarku, Ghanu agak sedikit heran meilhat kebiasaanku yang sedikit kalem. Tapi lama-lama dia lupa juga karena tergerus oleh kesibukan pekerjaannya. Berbicara tentang Ghanu, dia mengingatkanku akan suatu moment yang tak akan bisa aku lupakan sampai detik ini.

Hingar bingar kehidupan malam Ibukota sudah sangatlah nampak terlihat di sebuah Private Club Ellite disebuah Hotel disekitaran daerah Senayan. Sama seperti tamu-tamu undangan yang lainnya yang datang kesini, akupun siap untuk menghabiskan malam bersama mereka untuk berpesta. Semenjak pengobatanku, aku jarang sekali mampir ke tempat seperti ini lagi. Sekali-kali tak apa pikirku, hanya untuk kembali bersosialisasi dengan teman-teman lamaku. Malam ini adalah perayaan ulang tahun sahabatku Diana. Semua sudah aku siapkan dari jauh-jauh hari karena tak ingin mengecewakan sahabatku di hari istimewanya.

Sayangnya, hari itu hidupku agak sedikit berantakan karena banyak hal tak terduga yang aku alami. Harusnya aku bisa sampai tepat waktu, tidak selarut ini, tidak dalam keadaan berantakan dan sendirian. Namun kejadian-kejadian sejak siang itu mengacaukan segalanya. Awalnya aku dan pacarku Ghanu, well sekarang sudah menjadi mantan, sedang makan siang di sebuah Restaurant di daerah Jakarta Selatan sehabis mengambil baju pesananku yang aku kenakan malam ini. Kekacauan terjadi saat disela-sela makan siang kami, Ghanu bersikeras untuk menanyakan alasanku selalu menolak keseriusannya. Pernyataan ini sudah berulang kali kami bahas, dan hingga detik ini akupun belum menemukan alasan yang sanggup menutup mulut Ghanu untuk tak lagi menanyakan pertanyaan serupa ribuan kali. Lagi-lagi alasan “belum siap” menjadi alasan klise yang kulontarkan berkali-kali pula. Sepertinya kali ini Ghanu kehilangan kesabarannya, dia tetap mendesakku dengan sedikit emosi. Aku masih tetap tenang mencoba untuk menelan makan siang dihadapanku saat itu, meskipun dengan pikiran yang melayang entah kemana.

Ghanu adalah seorang pria tampan keturunan Indonesia - Turki - German yang aku pacari sejak kurang lebih setahun belakangan  ini. Di umurnya yang tahun ini menginjak angka 29, dia  sudah bisa dibilang mapan. Dia berhasil mengembangkan bisnis otomotif milik keluarganya. Tampan, kaya raya dan cukup dewasa. Itu semua bukan menjadi tolak ukur yang membuatku mau membangun komitmen bersamanya. Alasan lainnya yang membuatku bertahan dan memilihnya adalah dia tidak keberatan dengan kehidupnku yang bebas dan kesibukannya yang luar biasa padat, memungkinkan aku untuk mendapatkan lebih banyak waktu luang yang dapat kuhabiskan untuk bersenang-senang bersama teman-temanku dan memiliki waktu luangku sendiri. Dia sibuk bekerja dan aku sibuk bermain, sejauh ini itu sangat setimpal. Ditambah dengan pelayanan nomer 1 yang kudapat dari Ghanu, yang sanggup menjadikan aku layaknya seorang Puteri Raja. Meskipun aku banyak menghabiskan uangnya, dia tidak pernah komentar akan hal itu. Untuknya kebersamaannya denganku sudah lebih dari cukup, karena terkadang kami juga menghabiskan waktu untuk sesekali liburan. Suatu ketika aku mulai berpikir keras tentang hubungan ini, mungkinkah memang benar-benar ada cinta yang mengikat kami tak hanya sekedar uang dan libido semata. Namun hingga detik ini tak pernah kutemukan jawabannya. Untukku itu tidaklah begitu penting, yang jelas akupun menikmatinya dan kami bisa bertahan sejauh ini.

Semuanya tiba-tiba berubah, ketika Ghanu mulai mengutarakan niatnya, menjadikan aku tunangannya. Dia berencana menikahiku saat aku lulus kuliah dan  pada saat dia genap berusia 30 tahun, tahun depan.

“Jenna! Are you listen to me, hah?” Ghanu menggoyang-goyangkan tubuhku. Seketika aku mengerjap, sadar tak satupun ocehan yang keluar dari mulut Ghanu aku masukkan dalam telingaku.

“Oh, ya. Well dear, I’ve told you before. Im not ready yet.” Aku gelagapan, kuseruput minuman disampingku mencoba untuk bersikap biasa saja.

“Alright Jen, your body in here but your mind on another place. What happened? Kamu gak dengerin aku ngomong daritadi?” Ghanu meratap dihadapanku dengan wajah kecewa.

“I know, aku dengar... kamu tetap bahas tentang pertunangan kita kan?” Aku masih bersikap sok tenang seperti biasa.

“Nope, aku bicara tentang Ayahku yang sekarang sedang sakit dan berharap bisa bertemu dengan calon menantunya, secepatnya.”

Aku spontan tersedak minumanku sendiri, “I’m sorry to hear that dear”. Aku berusaha bersimpati sebisa aku, kemudian mengelus pipi kekasihku itu.

“I don’t need your sorry, Jen! I need you to be here, by my side and listen to me!” Kali ini nada suara Ghanu agak sedikit tinggi, para tamu lain yang juga sedang makan siang sontak menengok ke arah kami. Aku terus mencoba untuk bersikap tenang, terlebih lagi menenangkan kekasihku yang kini sudah mulai tampak emosi menghadapi aku yang sama sekali tak focus.

“Baiklah, kita bahas ini lagi nanti yaa. Sekarang kita pergi dulu dari sini, aku udah selesai.” Kudekatkan wajahku pada Ghanu, memberikn aba-aba bahwa ini adalah tempat umum, dan tak seharusnya dia berteriak seperti tadi.

Ghanu menunduk lemas dan langsung berdiri, setelah menyelesaikan billing pembayaran dia cepat bergegas pergi. Tak seperti biasanya, kali ini dia tampak sangat kesal, berjalan di depanku sendiri dan aku hanya mengikutinya dari belakang. Kupercepat langkahku agar lebih sejajar dengannya. “Dear, it’s okay... everythings fine, kamu hanya perlu bersabar.” Kataku sambil memeluknya setibanya di parkiran. Kali ini tak ada komentar, Ghanu melepaskan pelukanku dan bergegas masuk ke dalam mobil. Sementara aku, mulai kehabisan akal.

Di jalan kami berdua sama-sama saling membisu. Ghanu hanya memandang lurus ke depan dengan asa yang menerawang sambil mengendarai mobilnya dengan kecepatan di atas rata-rata. Aku tak sanggup berkata-kata untuk meredam emosi pria disebelahku. Terus mencoba untuk tetap tenang sambil memutar otak bagaimana cara menghentikannya, Aku mengencangkan sabuk pengamanku dan hanya bisa berdoa semoga semuanya baik-baik saja.Aku melonjak kaget ketika pada akhirnya Ghanu tak mampu menyeimbangkan mobil yang meluncur sangat cepat di jalan yang relatif agak kecil itu dan kemudian menabrak separator pembatas jalan, namun dengan kecepatannya yang saat itu sedang di atas rata-rata, dia tidak berhenti dan terus melanjutkan menyetir. Kali ini aku mulai kehilangan kesabaran dan berteriak, “Ghanu, stop it!”  Namun nampaknya Ghanu tak mengiraukan teriakanku, kuedarkan pandanganku, kulihat dari kejauhan ada sebuah Coffee Shop di sebelah kiriku. Kali ini emosiku pun terpancing, aku tak ingin mati konyol hanya karena ulah pacarku yang sama sekali tak bisa mengendalikan emosinya, begitu pikirku. Kubuka sabuk pengamanku dan berusaha menggertak Ghanu. “Ghanu, stop it or I’ll gonna jump!” Kupegang pintu mobil yang saat ini sudah tak lagi terkunci. Ghanu melirik ke arahku namun tetap tak berkomentar apapun. "Kali ini aku gak main-main Ghanu, cukup udah kayak anak kecilnya!" Ghanu mengehela nafasnya, sadar aku mulai panik tak seperti biasanya. Akhirnya dia menurunkan kecepatannya perlalahan dan mulai mengendarai mobilnya dalam keadaan normal. “Look, di depan sana ada Coffee Shop, kita kesana dulu. Tenangkan dulu emosi kamu tuh”. Kali ini Ghanu mendengarkan kata-kataku, dia lekas memarkirkan mobilnya di depan Coffee Shop itu namun masih tak komentar apapun. Aku yang masih agak sedikit gemetar, memaksakan diri untuk lekas turun dari mobil saat Ghanu selesai memarkirkan kendaraannya dan bergegas masuk ke dalam Coffee Shop menghindari Ghanu sebisaku, karena jujur kali ini aku sudah muak bersandiwara menghadapinya. Ghanu dengan cepat juga mengejarku, saat aku sudah berada dalam Coffee Shop ternyata langkah Ghanu lebih cepat dan sudah berhasil sejajar denganku kemudian menyambar lenganku, saat dia menarikku aku reflex menghindar sehingga tanpa sadar Ghanu menabrak waiters yang sedang membawakan pesanan untuk tamunya. Waiters tersebut segera minta maaf dan berusaha membersihkan cairan minuman yang mengenai kemeja yang dikenakan oleh Ghanu. Seolah tak menghiraukan permintaan maaf waiters tersebut, Ghanu yang dari awal memang sudah emosi padaku sekarang berteriak-teriak memaki waiters tersebut. Kesabaranku kini benar-benar habis. "Udah Ghanu dia gak sengaja." Aku berusaha membantu sebisaku namun Ghanu tetap tak menggubrisku dan tetap melontarkan makian-makian kepada waiters itu. Sontak seisi Coffee Shop yang tak terlalu besar itu menengok ke arah kami. Sadar menjad pusat perhatian, aku mencoba meredam emosiku sendiri. “Stop it, please...” Kataku memohon. Mata marah Ghanu kini tertuju padaku. “Is not working anymore, just over it.” Kataku setelah itu. Ghanu memasang wajah tak habis pikir. Dia tertegun sejenak kemudian melemparkan pertanyaan yang membuat dadaku sesak. “Jen, ever you love me?” Wajah marah itu tiba-tiba lenyap, kini wajahnya berganti memelas. Aku bingung untuk menjawab apa, karena selama ini aku benar-benar tak merasakan sesuatu yang disebut cinta pada Ghanu. Aku memang suka padanya, perhatian dan segala yang dia berikan mampu membuat wanita manapun tergila-gila pada pesona dan ketampanannya. Tak ada satu katapun yang mampu keluar dari mulutku, aku hanya berdiam diri, mematung. Mataku kini sedikit berkaca-kaca, kutahan sebisaku agar tak menangis dihadapannya. Bukan karena merasa bersalah, aku hanya merasa tampak bodoh. Ghanu yang selama ini aku kira berhasil aku kuasai, ternyata akhirnya sadar bahwa selama ini aku tak pernah mencintainya dan datang padanya hanya untuk bersenang-senang. Tampaknya kali ini Ghanu menyerah, dia berbalik arah dan pergi meninggalkan Coffee Shop itu dengan kesal. Sementara aku, masih diam berdiri memandang ke arah kepergiannya. Good bye, Ghanu. Kataku dalam hati.

Aku mengedarkan pandanganku ke sekeliling Coffee Shop yang sebagian pengunjungnya tampak masih memperhatikan keributan yang terjadi antara aku dan Ghanu. Entah seberapa kacau penampilanku sekarang, aku berusaha tak peduli dan tak ambil pusing. Biar sajalah, tak ada yang mengenaliku disini, pikirku. Aku menjatuhkan pandanganku pada sosok pria yang sedang duduk di sofa paling pojok tepat di arah kananku. Entah sedang sibuk apa, namun dia sendirian dan daritadi nampak tak terlalu terganggu dengan keributan yang baru saja aku lakukan. Aku berjalan menuju sofa disebrang tempat duduknya. Sekilas aku melihat dia memandang ke arahku.

Waktu sudah menunjukkan pukul 5.18 sore dan aku hampir lupa bahwa aku belum melakukan persiapan apapun untuk datang ke acara ulang tahun sahabatku. Sudah lebih dari satu jam aku termenung di Coffee Shop itu sambil terus menggenggam Hot Green Tea yang tadi aku pesan dan kini sudah sangat dingin, sendirian memandang langit yang mendung dari kaca jendela di sampingku.

Sadar masih banyak yang harus aku kerjakan, aku kemudian bergegas pulang membersihkan diriku dan mengambil mobilku lalu cepat-cepat ke salon langganan untuk memastikan tampilan rambutku sesuai dengan mini dress burgundy berbahan satin yang aku kenakan malam ini. Yah, harusnya tak seperti ini. Mood-ku berantakan, jelas pikiraku melayang-layang.

Aku mengerjapkan mataku, melihat keadaanku dicermin dihadapanku. Sudah hampir 30 menit aku berdiri disini sejak kedatanganku tadi, di toilet di dalam Club. Kurapikan sedikit make up ku yang malam ini kurasa kurang maksimal. Kuambil anting perak bermotif daun dari tas kecilku dan langsung mengenakannya. “Perfect!” Kemudian aku pergi ke tengah pesta untuk berbaur dengan teman lainnya yang sudah terlebih dahulu datang dengan perasaan yang tak menentu.

Pesta malam ini sangatlah meriah. Dan yah, aku kehilangan moment puncak saat Diana memotong kue atau tiup lilin seperti pesta-pesta ulang tahun lainnya karena suasana sudah nampak tak karuan. Asap rokok dimana-mana tercampur dengan bau alkohol. Di tengah sana nampak Diana yang sedang sibuk melayani hujan selamat dari para tamu penuh dengan tawa dan keceriaan. Sebagian tamu undangan lainnya yang juga aku kenal dan beberapa lainnya yang nampak asing bagiku sudah asyik dengan dunianya sendiri, menikmati sajian minuman dan musik Trance yang dimainkan oleh DJ yang yang malam ini tampak berhasil menyihir para undangan yang terhanyut di lantai dansa. Aku melangkahkan kakiku menghampiri mereka semua, namun kepalaku sedikit pusing dan perutku terasa mual.“Tak mungkin aku sakit dalam keadaan pesta, come on Jenna” Aku memalingkan langkahku ke arah bar, ada seorang pria yang duduk disitu, seperti tak asing. Aku duduk disebelahnya sambil berpikir pernah bertemu dimana dan minta satu gelas tequila ke bartender. Aku pikir ini bisa membuat tubuhku lebih baik sebelum aku menghadapi serentetan ocehan yang pasti dilemparkan oleh Diana atas keterlambatanku yang kurasa fatal ini. Kuteguk minuman yang disodorkan oleh bartender, kuminta satu gelas lagi dan satu gelas lagi. Tepat gelas ke empat, ada tangan yang meraih gelasku.

Aku reflex berteriak sambil menengok ke sebelahku, “Ah, I hate tequila!” seruku.

Pria yang ada disebelahku hanya memandangku datar sambil memegangi gelas tequila milikku, tiba-tiba aku teringat pria yang aku temui di Coffee Shop tadi sore, dan aku baru sadar bahwa itu dia atau aku hanya berhalusinasi karena kebanyakan minum, aku tak yakin. Baru saja aku akan menanyakan langsung padanya, tiba-tiba sebuah tangan memeluk leherku dengan erat dan suara bising memenuhi telingaku.

“Jen, are you thirsthy or something?” Diana sang pemilik pesta sudah berdiri dibelakangku masih melingkarkan tangannya dileherku.

“Ah yaa, my birthday girl!!!! Happy birthday my dear....” Aku peluk sahabatku yang malam ini tampak anggun mengenakan helter neck berwarna merah sepaha. Rambut panjangnya diikat keatas semua menjadikan penampilannya malam ini sangat sexy. “Great life, great moment, more happiness come along us.” Aku membalikkan tubuhku sejenak ke arah pria yang tadinya berada disampingku namun kini sudah lenyap. Aku mengedarkan pandanganku kesekitar dan mencari-carinya namun tak juga aku temukan. Akhirnya aku meminta  dua gelas minuman lagi dan menyerahkannya satu gelasnya kepada Diana... “Toast!” Kuarahkan gelasku pada gelas yang kini digenggam Diana. Kuteguk lagi minuman itu, perut dan tenggorokanku mulai panas dan musik malam ini tampak sangat menyanjungku dan mengajak untuk menggoyangkan tubuhku.

“Okay, thank you sweetheart. Tapi lo dari mana Jen, ini udah lewat tengah malam dan lo baru datang.” Diana duduk di bangku bar sampingku sambil mengernyitkan dahinya memandang heran ke arahku kemudian meletakkan gelas yang digenggamnya.

“Just a little bit trouble. But everythings fine, gue udah disini sekarang kan.” Kataku sambil terus menggoyangkan tubuhku.

“Too late... “ Katanya lagi lemas. Aku tak menghiraukan ucapannya, kepalaku agak sedikit berat, tak mungkin aku sudah mabuk, pikirku. Kemudian mengeluarkan rokok dalam tasku dan mulai membakarnya. Kuhisap rokok itu berharap pusing dikepalaku membaik namun tampaknya malah bertambah buruk. Diana mengedarkan pandangannya ke seluruh club. “Mana pacar lo? Lo dateng sendiri?” Dia bertanya heran.

Aku hanya mengangguk, kuambil lagi segelas minuman. “Putus. Tonight, I'm yours”. Dan lalu meneguknya lagi. Kumatikan rokokku, kutarik Diana meninggalkan meja bar, kurasakan tubuhku sudah mulai sempoyongan. Lalu tanpa sadar kami membaur dengan yang lainnya. Malam ini terasa sangat panjang, aku terus memaksa tubuhku untuk tetap bergerak. Mencoba untuk bersenang-senang seperti biasanya. Aku dikelilingi puluhan orang yang asyik jejingkrakan mengikuti hentakan musik. Mereka semua berkeringat dan nampak sangat menikmata suasana pesta malam itu. Aku sudah mulai tak sadarkan diri dan tak perduli dengan sekelilingku. Aku sendiri hanya tertarik dengan minum, lagi dan lagi. Entah sudah berapa banyak aku minum malam ini. Aku tak peduli, aku hanya ingin terus menggerakkan tubuhku sampai tak sanggup lagi.

“Saat kau berada sangat jauh... terbang tinggi... tinggi sekali... satu senyuman masih menunggumu untuk pulang, kesini.”  - Jenna

Dari kejauhan,  cahaya orange, kuning, merah dan hijau bergantian berkedip. Seperti spektrum warna yang indah berpendar kemanapun bola mataku bergulir. Sangat nyaman, mataku berat nyaris sulit aku membukanya. Namun perutku bergejolak, seperti sedang ditendang-tendang. Mual dari perut hingga ketenggorokan. Aku tak bisa mengangkat tubuhku, seperti mata rasa. Pikiranku sudah mulai sadar, kini aku sudah tak lagi sedang berada dalam pesta karena suasana disini sangatlah hening. Namun aku juga tak tahu sedang berada dimana dan kejadian apa yang menimpaku semalam. Yang aku tahu, pastilah mabuk karena terlalu banyak minum tadi malam. Aku terbatuk, ingin memuntahkan sesuatu namun perutku nampak kosong sehingga tak ada satupun lagi yang mampu aku keluarkan. Perutku melilit sangat sakit sekali, kutekan dengan kedua tanganku sambil mengerang.

“Finally, Jennnaaa.... are you there?” terdengar suara panik mengguncangkan tubuhku perlahan. Aku perlu memusatkan pikiranku sejenak dan akhirnya kukenali suara yang tak asing lagi  itu, Diana. Aku mencoba membuka kedua mataku sambil terus memegangi perutku.

“Dee, bisa  air putih?” Kataku dengan suara parau.

Diana buru-buru mengambil air putih yang ada di meja. Dia membantu mengangkat tubuhku karena masih kurasa terasa agak berat.

“Nah, I feel better, Thanks.” Kataku sambil tersenyum. “Kok gue disini? Semalam ada apa?” Aku kebingungan sambil menekan kepalaku yang berdenyut sangat hebat ditambah kini terbalut oleh perban dan rasanya sakit sekali. Semuanya serba membingungkan, ditambah dengan terbaringnya aku di sebuah ruangan rumah sakit dengan tubuh yang tak bisa aku gerakkan sama sekali. Dengan keadaan seperti ini aku tak yakin bahwa aku masih memiliki tulang yang bisa menopang tubuhku. Aku mencoba menerka-nerka, separah inikah aku mabuk di pesta ulang tahun sahabtku sendiri, sudah pasti sangat memalukan. Lalu mengapa aku di Rumah Sakit? Ada apa dengan kepalaku yang dibalut perban? Ribuan pertanyaan mencengkram pikiranku dan itu hanya membuat kepalaku bertambah pusing. Aku hanya bisa mengerenyitkan dahi untuk mecoba menahan sakitnya.

“Semalam ada apa?” Diana mengembalikan pertanyaan itu padaku, melepaskan tubuhnya disofa yang ada disampingku sambil menopangkan dagunya di kasur tempat tidur.

Dari pertanyaannya, sudah bisa kuterka bahwa aku melakukan hal yang tak biasanya aku lakukan. Malam tadi, Diana tepat berumur 24 tahun, dia sahabatku sejak di SMP. Tak terasa kami sudah tumbuh bersama, sedikit banyak dia mengetahui tentang diriku. Begitupun sebaliknya. Walaupun kami sempat berpisah karena harus menyelesaikan SMA di sekolah yang berbeda, namun kami masih sering menghabiskan waktu bersama. Ada masa kami sama-sama kehilangan contact, karena Diana melanjutkan study-nya di Australia sementara aku tetap tinggal di Jakarta. Lagi-lagi nasib mempertemukan kami, sudah sekitar 4tahun lebih kami tak bertemu akhirnya kami secara tak sengaja bertemu kembali. Dua orang sahabat, teman kecil yang sama-sama seperti orang baru kembali dari peradaban yang sangat jauh dan membawa cerita-cerita baru yang tak pernah kami duga sebelumnya. Namun sejauh apapun perubahan itu, kami tetaplah kami yang dulu. Sifat kami sangat berbeda dan banyaknya perubahan yang ada tak jadi masalah,  aku bahagia memiliki seorang sahabat sepertinya. Persahabatan kami yang cukup lama, lumayan membuat Diana sedikit banyak tau jika ada satu kejanggalan yang aku lakukan. Pasti karena mabuk di pestanya semalam ini yang membuat dia sampai bertanya. Aku memang sangat menyukai pesta. Dunia gemerlap yang biasa kami datangi bersama, tak pernah membuat aku sampai sekacau ini. Separah apapun suasana, aku pasti bisa mengendalikan diriku. Malam  itu berbeda, entah mengapa aku melepas pertahanan yang selama ini aku jaga. Mungkin karena factor pola hidupku yang sudah sedikit banyak berubah sehingga aku perlu beradaptasi kembali. Dan benar-benar ingin melupakan bahwa aku ini adalah Jenna.

“Nothing wrong with me, just a little bit hangover I guess.” Sebelum dia sempat protes, aku kembali menambahkan. “Pesta lo semalem, keren Dee!”

Akhirnya dia mendongakkan kepalanya dan melirik kearahku dengan tatapan yang sangat menelisik. “Pesta itu dua hari yang lalu, bukan lagi semalam Jen!” katanya kemudian.

Aku sedikit terperanjak mendengar jawaban Diana. Aku memijat-mijat kepalaku yang masih sangat pusing dan sakit sekali. Aku mencoba menahan rasa sakit yang sangat hebat itu dengan memejamkan mata. “So, gue tidur udah dua hari, ya kan?” Kataku sambil tersenyum.

“Itu bisa dibilang pingsan atau koma, bukan tidur!” Diana beranjak dari tempat duduknya dan berdiri di depan jendela menghadap keluar.

Diana memandangku sekilas. Ada keprihatinan yang jelas tergambar dari raut mukanya. Entah untuk bagian yang mana, namun aku sama sekali tak tertarik untuk menerka-nerka atau bertanya balik padanya. Luka dikepalaku, aku yang kini terbaring di rumah sakit, arghh... ini benar-benar membuat kepalaku menjadi tambah sakit. Semakin aku berusaha keras mengingat apa yang terjadi, kepalaku semakin pusing. Tiba-tiba sekelibat tatapan sederhana itu muncul, hanya itu yang kuingat, sedikit melegakan hatiku yang terlanjur bilur. Tatapan mata yang hangat menyejukkan milik pria asing yang kutemui di Coffee Shop. Seingatku, semalam aku bermimpi dia datang padaku dan membantuku berdiri. Aku ingin mengucapkan terima kasih namun sesaat kemudian dia sudah lenyap tanpa aku tau namanya. Ah, hanya mimpi! Begitu pikirku. Aku melemaskan seluruh otot ditubuhku, masih tak dapat bergerak dari tempat tidurku mencoba mencerna kejadian yang aku alami. Semakin berusaha keras aku mengingat, semakin aku tidak tau apa-apa. Tersiksa sekali dibagian ini, dimana semua perasaan berkumpul menjadi satu. Sakit seluruh tubuh dari ujung kaki sampai ujung kepala bisa kurasakan, namun lebih sakit lagi luka di kedalaman hatiku yang sangat dalam. Entah itu apa, yang jelas perasaan ini terlalu absurd dan sulit untuk aku definisikan. Terlalu rumit unuk dapat kurangkum dalam kalimat sederhana. Sehingga aku memilih untuk memejamkan mata dan tertidur lagi, menghindari pertanyaan-pertanyaan yang sudah pasti akan dilemparkan oleh Diana.

Suara orang mengobrol menarikku ke kenyataan, aku membuka mataku perlahan berharap hal tadi hanya mimpi, namun lagi-lagi aku harus kecewa. Karena memang disinilah aku terbaring, di rumah sakit.

“Good afternoon miss….” Diana tersenyum dengan sangat manis menyenderkan tangannya di tempat tidurku.

Aku melihat berkeliling di ruangan itu berdiri dua orang laki-laki, yang satu tak asing karena aku sudah mengenalnya, Bayu pacar Diana yang merupakan anak pengusaha dari Jambi. Dan yang beridiri disebelahnya… aku sudah tak asing juga, dia pria yang aku temui di Coffee Shop sore kemarin, atau 2 hari lalu, entahlah aku tak mau tau. Aku menelan ludahku dan mulai mencerna semua kejadiannya, aku ingat sekarang. Aku mengalami kecelakaan yang fatal dan pria itu memang membantuku saat aku berusaha keluar dari mobil dengan merangkak, aku tidak sedang bermimpi.

“How’s bad.. Dee…” tanyaku pada Diana dengan menunjuk kakiku yang tak dapat aku gerakkan.

“Gak usah khawatir, kata dokter itu Cuma efek traumatis. Kakimu agak retak, tapi  nanti bisa di train jalan lagi kayak bayi”, Diana cekikikan aku agak sedikit lega, aku pikir seperti di sinetron-sinetron yang aku kemudian menjadi lumpuh dan hidupku berakhir dikursi roda. Hal itu tak terjadi dan aku bersyukur.

Bayu tersenyum ke arahku, aku tersenyum balik kepadanya dan melirik pria yang sedari tadi hanya diam memperhatikan. “Jen, ini Senja temen SMA gue di Jambi.” Kata Bayu kemudian. “Kalian udah pernah ketemu kan? Dia baru datang dari Bandung 3 hari yang lalu, sengaja gue ajak ke ulang tahunnya Diana, buat nebus kesibukan gue ninggalin dia terus selama di Jakarta”, kata Bayu menjelaskan pria di sebelahnya. Aku tersenyum, mendengarkan. Lidahku masih terasa kelu.

“Untung ada Senja lho, kalau gak kita pasti gak akan tau kabar keberadaan lo pasti lagi abis kecelakaan. Secara abis pesta gak ada yang sadar semua”, Diana menambahkan sambil mengupas Apel disebelahku dan menyodorkannya ke arah mulutku. Aku memakan buah apelnya mengunyahnya dengan malas.

“Terima kasih”, kataku smabil terus mengunyah Apel yang kini memenuhi mulutku.

“Lo terima kasih sama gue karena nyuapin lo Apel apa sama Senja?” kata Diana sedikit meledekku.

Aku tersenyum tak memberikan jawaban apa-apa.

“Oh iya, gue sama Bayu mesti pergi dulu. Nyokap sama Bokap lo disini dari kemarin pas lo masih belum sadar, tapi sekarang mereka lagi pulang dulu. Katanya nanti kesini lagi, gue udah kabarin kalau lo udah bangun.”

Aku terkesiap mendengarnya, apa yang orang tuaku pikirkan jika mengetahui kelakuanku yang acak-acakan. Walaupun aku tak begitu menyukai mereka, aku tetap mengkhawatirkan imageku.

“Tenang, gue bertanggung jawab penuh kok”, kata Diana melanjutkan. “Gue bilang lo ngantuk abis ngerjain tugas kampus, jadi semua clear!” Diana mengedipkan matanya.

Aku benar-benar lega mendengarnya.

Diana dan Bayu akhirnya berpamitan kepadaku dan kepada Senja, aku agak sedikit heran. Bayu bisa membaca maksud wajahku. “Senja stay disini kok Jen, jadi kalau ada perlu apa-apa, kamu bisa minta tolong dia. Gue cuma sebentar sama Diana, bawain lo baju ganti juga.” Katanya sambil tersnyum.

Aku hanya mengangguk datar dan bingung harus berbuat apa, karena manusia yang mereka sebut Senja itu hanya diam saja.

“Thanks ya, udah bantuin aku..” kataku parau.

“Gak masalah, kebetulan aja aku lagi disitu”, jawabnya.

“Kamu ngapain disitu kemarin? Bukannya ikut pesta”, tanyaku kemudian.

“Aku emang gak suka sama hal-hal yang berbau keramaian, makanya aku sedikit menjauh buat cari udara segar”, katanya akhirnya tersenyum

“Aku sedikit lost control..” kataku tersenyum canggung.

“Sedikit? Kamu baru keluar parkiran dan ngebut sampe-sampe nabrak separator dan bablas ke arah berlawan nabrak mobil lainnya gak jauh dari hotel itu namanya gak sedikit.”

Aku tertawa “Yah mau gimana lagi…” kataku pasrah.

Disitulah awal mula hidupku yang akhirnya membawaku ada disini. Tidak terlalu manis, namun sanggup mengantarkanku pada kehidupan baru yang aku jalani sekarang. Sejak saat itu aku menjadi lebih dekat dengan Senja, dia benar-benar membantuku memperbaiki pola hidup dan meluruskan pola pikirku yang pada saat itu acak-acakan. Kehidupanku yang lama, bukan hanya aku kurangi tapi juga kutinggalkan secara utuh.

Merenung mengingat masa lalu membuatku sedikit lega, setidaknya aku tau alasanku berada disini. Dan sejak awal Senja memang tidak pernah menyukai pola hidupku, aku yang memaksanya masuk. Akupun masuk di kehidupan Senja yang serba santai, aku ambil positifnya kehidupanku kini sudah banyak berubah. Misinya kini sudah selesai mungkin, aku sudah meninggalkan kehidupan lamaku yang semerawut. Dan jika kini Senja memutuskan untuk pergi dari hidupku, sepertinya aku sudah lebih siap.

Kulihat jam sudah menunjukkan pukul 5 pagi, demamku belum juga surut. Aku melihat Keanu yang sepertinya sudah tertidur pulas, nafanya sangat berat. Begitupun dengan Meow disampingnya. Tenggorokanku haus dan aku beranjak dari tempat tidurku, mengambil gelas di samping tv.

“Kamu gak tidur-tidur Master…” suara Keanu sangat berat namun agak sedikit samar.

Aku menoleh ke arahnya. “Kebangun aja kok..” kataku sambil menenggak air putih.

“Bohong kamu…”katanya masih dengan tubuh yang tak bergerak dan aku tak bisa melihat matanya terbangun atau tertutup.


Tubuhku sangat lemas, hingga malas sekali untuk berdebat. Semenjak bertemu dengan Senja aku memutuskan untuk tak lagi bermain hati dengan pria manapun. Itu yang membuatku bersikap biasa saja pada Keanu. Namun jika Keanu seperti itu terus, perempuan mana juga yang tak akan terpancing. Mengokohkan tembok pertahanan hatiku adalah tugas baruku sekarang. Semoga Keanu tak main menerobo saja. Aku kembali ke tempat tidurku, kali ini ngantuk memang menyerangku. Akhirnya aku terlelap.

No comments:

Post a Comment