KEANU
Aku
dan Meow sedang memperhatikan jalanan di depan kami. Duduk di bangku warung di
pinggir trotoar. Hari ini aku baru saja menyelesaikan beberapa persyaratan di
kampus untuk dapat mengikuti kelas lagi di semester berikutnya. Meow yang hari
ini tidak ada kelas hanya mengikuti setelah kujemput paksa ke rumahnya pagi
tadi. Kendaraan yang lalu lalang dan orang-orang yang sibuk dengan kegiatannya
masing-masing sama sekali tak mengusik kami berdua yang sedaritadi hanya terdiam. Aku melihat
notifikasi di handphoneku, Marisa banyak sekali mengirimkanku pesan. Namun taka
da yang aku buka satupun.
“Ken..
lo mendingan buru-buru ambil keputusan” Meow memulai pembicaraan.
“Keputusan
apaan?” tanyaku kebingungan.
“Gak
bagus terus-terusan bohong sama diri sendiri.” Raut wajahnya agak serius.
“Maksudnya?
Aku semakin kebingungan.
“Gue
cuma sotoy aja nih yaa, tapi menurut gue, gimana lo bisa jujur sama orang lain
kalau lo belum bisa jujur sama diri lo sendiri”, kali ini dia benar-benar
memasang wajah yang serius.
“Jenna?”
tanyaku nanar. Kulihat Meow hanya menggauk pelan.
Aku
tak merespons kata-katanya, hanya mengalihkan pandanganku pada sibuknya
pemandangan di hadapanku.
“Woy…
ngelamun aja anak mudaaa…” Redi tiba-tiba muncual sambil menepuk pundakku. Dia
celingukan. “Berdua aja nih?”
“Emangnya
lo nyariin siapa haaah????” Meow kali ini menarik Cappucino yang digenggam oleh
Redi dan meminumnya.
“Yah..
siapa kek gitu….” Redi melirik ke arahku. Aku sudah tau pasti arah pembicaraannya
namun aku abaikan. Entah itu semacam ejekan atau bukan, yang jelas
teman-temanku kini sudah mulai sadar bahwa Jenna kini sudah menjadi salah-satu
rutinitas sehari-hariku.
Aku
sedang suntuk untuk sekedar
bercengkrama, siang ini cuaca tak terlalu mendukung moodku. Nada getar
handphoneku kembali mengalihkan pandanganku pada layarnya. Kulihat nama yang
dari kemarin selalu terpampang di layarku, Marisa. Lagi-lagi aku abaikan. Aku
sedang taka da niat untuk mengurusi hal-hal seperti itu. Lagipula akhir-akhir
ini Marisa sudah mulai mengganggu. Dia terus saja menanyakan keberadaanku dan
mengajakku bertemu.
Terik panas sinar matahari seakan menyengat
masuk ke dalam jaket jeans yang aku kenakan. Aku melemparkan pandangan ke
sekliling mencari-cari objek yang menarik untuk diperbincangkan.
“Marisa
and the genk nyariin kau terus Ken…” aku tak menyangka itu jadi topik
pembicaraan yang Redi pilih tengah hari bolong seperti ini. Aku hanya tersenyum
tak peduli. “Apalagi junior-junior tuh
nah… setiap papasan sama aku, kau terus lah yang ditanyakan” katanya lagi
sambil kembali merebut Cappucino ditangan Meow.
“Emangnya
Keanu Dosen pembimbing ya sampe dicari-cari begitu” Meow menimpali sambil asyik
dengan game di handphonenya.
“Kalah
dosen pembimbing…. Bagi contactnya Risma Ken, cantik nian lah dia tuh…” Redi
kini menodongkan handphonenya ke arahku.
“Sekalian
aja lo minta semua contact cewek-cewek lucu sekampus Red…” Meow merebut lagi
Cappuccino di tangan Redi.
”Aii..
aku nih apolah… Cuma nak aku ajak ngobrol..” Redi memelas.
“Ajak
ngobrol langsung lah, perlu gue panggilin anaknya?” Meow mengedarkan
pandangannya kesekitar, Redi mengikuti.
“Balik
yuk ah, main game di rumah gue” kata ku kemudian karena tak juga berhasil
menemukan obrolan yang seru.
“Baru
juga dateng udah main balik lagi aja, anak-anak yang lain belum dateng ini”
kata Redi kemudian.
Tidak
beberapa lama kemudian wajah-wajah orang yang baru saja Redi bahas muncul
dihadapanku. Malah sekarang ikut duduk disampingku.
“Yang
kemarin itu pacar kamu baru ya Ken?” Marina langsung to the point. Aku hanya
tersenyum. “Mana dia? Kok sekarang gak ikut? Bukan anak sini ya?” katanya lagi
nyerocos tanpa jeda.
“Ada
kok” aku menjawab tenang.
Marisa
celingukan mencari-cari sesuatu.
“Dia
udah nungguin di rumahku, makanya pengen cepet pulang nih..” aku menambahkan
masih dengan tersenyum.
Marisa
hanya terdiam, raut kesal jelas terukir dibibir tipisnya. “Kita perlu bicara.”
Katanya lagi.
“Aku
masih ada urusan Sa.. bisa gak sih kamu biasa aja?” aku berusaha tenang.
Tak
lama kemudian dia pun berlalu begitu saja namun aku tak menghiraukan. Meow dan
Redi langsung memandangiku dengan wajah penuh pertanyaan.
“Becandaaaaaaaaaaaaaaa
kaliiii bang broooo………………” kataku akhirnya, setelah memastikan Marisa
benar-benar pergi.
“Biasanya
lo semangat banget godain Marisa, tumben banget” Redi mencibir tingkah lakuku.
Aku
memang sempat dekat dengan Marisa, seperti biasa, aku tertarik dengan parasnya
yang cantik dan sifatnya yang manja. Aku pernah mengajaknya jalan beberapa kali
setelah itu aku tak tertarik lagi. Bagiku itu adalah hal yang biasa. Marisa
bukan satu-satunya perempuan yang aku kencani dalam waktu bersamaan saat itu. Sempat
beberapa kali dia memancingku tentang arah dari hubungan yang kita jalani, aku
masih bisa mengatasi. Awalnya aku pikir Marisa bisa menerimanya dengan santai
juga, namun sepertinya aku salah. Sikap Marisa akhir-akhir ini lumayan
menggangguku dan aku tak tau sampai kapan aku bisa melarikan diri. Sama seperti
kejadian yang sudah-sudah, akupun harus menyiapkan sejuta kalimat untuk
menghadapinya. Masih ada perempuan-perempuan lainnya yang harus aku urus dan
aku sama sekali tak ada keinginan untuk membahasnya lebih dalam.
Aku
memang tak dapat mengulang apa yang terjadi dalam hidupku dan aku sama sekali
tak menyesalinya. Semua aku lakukan dengan penuh kesadaran dan siap dengan
segala konsekuensinya. Kartu kehidupan yang ada ditanganku sekarang, tak dapat
kutukar dengan siapapun. Aku hanya dapat terus melanjutkan.
“Yuk
cabut yuk…” kataku kemudian sambil melenggang pergi meninggalkan warung yang
aku duduki daritadi. Redi dan Meow sontak mengikutiku dari belakang. Aku
menyerahkan kunci mobilku pada Meow dan segera duduk dibangku belakang. Dengan
wajah bingung Redi dan Meow hanya masuk tanpa banyak bertanya. Aku yakin mereka
kebingungan dengan sikapku hari ini, namun aku tak punya keinginan untuk
menjelaskan.
“Ke
rumah Jenna? Apa ke kantornya” Meow melirikku dari spion depan dan bertanya
dari balik kemudi. Aku hanya membaringkan tubuhku sambil memandang ke luar. “Ke
rumah gue.” Jawabku singkat.
Sepanjang
perjalanan Meow dan Redi banyak membicarakan kehidupan yang terjadi di kampus,
tak lagi familiar di telingaku karena sudah lama sekali aku tak ikut nongkrong
disana. Jadi aku hanya mendengarkan dengan samar-samar. Pikiranku sekarang ini
sedang melanglangbuana entah kemana. Aku bingung dengan perasaanku sendiri yang
campur aduk. Kejadian kemarin membuatku sedikit banyak berpikir. Harusnya
berakhirnya hubungan Jenna dan Senja membuatku senang, namun entah mengapa ada
yang mengganjal dalam hatiku. Perempuan yang aku sayangi dan selalu aku coba
lindungi, menjatuhkan tubuhnya dipelukanku untuk menangisi pria lain yang
menyakitinya. Sepertinya aku sedikit tak terima. Apakah perasaan Jenna terhadap
Senja benar-benar dalam sehingga membuatnya terlihat sangat depresi. Belum lagi
bungkusan milik Jenna yang tertinggal dalam mobilku yang terus mengganguku. Aku
semakin penasaran dengan Jenna. Aku ingin sekali bertanya secara langsung
padanya, mengutarakan perasaanku padanya namun aku masih belum punya nyali
untuk melakukannya. Entah takut mendengar jawabannya atau hanya takut merusak
suasana yang baru saja aku bangun bersamanya. Hal-hal seperti itu yang membuat
moodku berantakan hari ini. Setelah semalam aku mengantarkannya pulang, aku belum
lagi menghubunginya. Diapun tak ada menghubungiku sama sekali. Aku menghela
nafas dalam-dalam. Sifat tak sabaran yang ada pada diriku kadang merugikan
diriku sendiri, kali ini aku mencoba untuk bersabar dan menunggu. Sambil aku
memikirkan langkah yang harus aku ambil selanjutnya.
“Red
bisa nemenin gue ke Jakarta gak? Besok atau lusa”, kataku tiba-tiba.
“Yah
kok ngedadak banget sih? Aku nih sudah beli tiket buat pulang besok sore” kata
Redi akhirnya. Meow sudah aku tanyakan sebelumnya dan dia tak bisa menemaniku
dengan alasan ada acara pernikahan teman SMP nya.
Aku
hanya berdecak saja. “Siapa ya yang bisa nemenin gue kira-kira?”
“Novan pasti bisa tuh
nah… dia baru putus sama pacarnya jadi gak ada acara sampai Tahun baru
katanya.” Redi menambahkan.
Aku yang tak sabaran
segera menelpon Novan. Setelah mengetahui keberadaannya, aku langsung
mengarahkan Meow untuk menjemputnya. Setelah menunggu sekitar 15 menit di gank
kostannya akhirnya Novan muncul juga. Dia langsung masuk ke dalam mobil. “Apaan
nih?” katanya sambil menggeser bungkusan yang daritadi ada disebelahku.”
Aku segera melemparkan
bungkusan itu ke belakang, “punya Jenna” jawabku.
Novan hanya
mengangguk-ngangguk saja. Sebenarnya aku sedikit tak enak dengan Redi dan
Novan. Mereka berdua lumayan dekat dengan Senja. Yang mereka tau Jenna pasti
masih pacaran dengan Senja. Sementara aku, hanya partner bisnisnya semata dan
aku yakin mereka sudah lama curiga bahwa ada yang lain dimataku terhadap Jenna.
Namun aku yang keras kepala, lagi-lagi mengabaikan apa tanggapan orang lain
terhadapku.
“Van, besok apa lusa ke
Jakarta lah yuk…”
“Ngapain?”
“Mau ngurusin mobil”
“Mobil yang mana?”
“Yang pasti bukan yang
ini, yang flat B dan kayaknya baru besok mobilnya dikirim ke rumah.”
“Widiiihhh…. Mobil
baruuuu… boleh lah yuk, test drive lah dengan senang hati” akhirnya aku sedikit
lega karena mendengar Novan yang tampak bersemangat. Walaupun aku tak
memberitahukan alasanku yang sebenarnya.
Aku lihat Meow hanya
memperhatikanku lewat spion, ada raut cemas dalam wajahnya. Dia memang
sahabatku yang tanpa perlu aku cerita dia sudah pasti mengerti keadaanku
sekarang ini.
Kami berempat pun meluncur ke
rumahku. Sudah lama aku tak berkumpul dengan mereka. Sepertinya aku memang
perlu bertukar pikiran dengan teman-temanku, seperti dulu. Agar pikiranku
sedikit jernih. Akhir-akhir ini Jenna tak hanya menguras waktuku tapi juga
pikiranku. Benar saja, tak lama setelah kami berkumpul suasana menjadi berubah.
Isinya tentu saja Boy’s talk only. Disela-sela obrolanku, aku sempatkan melihat
handphoneku. Hanya ada beberapa notofikasi dari BBM group online shop dan
beberapa chat dari teman perempuanku yang salah satunya Marisa. Sudah pasti kali
ini kuabaikan lagi. Jenna sepertinya standby, dia tetap merespon pesanan dan
komentar para customer. Aku membaca setiap kalimatnya dan tiba-tiba
merindukannya. Jenna bisa sangat sibuk di group namun dia tak menghubungiku
sama sekali, tampak mudah sekali baginya. Aku menutup handphoneku dan kembali
bermain game bersama teman-temanku.
Redi
yang daritadi sibuk dengan handphonenya sambil menunggu giliran main game
akhirnya bersuara. “Tuan Puteri pengen ice cream tuh” katanya sambil terkekeh.
Aku bingung siapa yang
dia maksud dengan Tuan Puteri. “Jenna tuh sudah putus kayaknya lah sama Senja”
dia mengarahkan pernyataannya kepada Novan yang lebih dekat dengan Senja.
“Salah
orang lo, gue mana tau apa-apa, tanya sama sebelah gue…” Novan menunjuk
kearahku.
Redi melirik ke arahku
mengharapkan jawaban yang sudah pasti tak akan dia dapatkan. Aku pura-pura
sibuk dengan game dihadapanku. “Status BBM Senja sama Twitternya sih sepertinya
begitu” Redi menyambung kalimatnya.
Setelah Redi membahas
hal tersebut, aku langsung tau siapa yang dia maksud dengan Tuan Puteri. Gara-gara
pikiranku yang tak fokus, akupun kalah bermain game dan mengumpat seperti biasa
lalu menyerahkan stick ditanganku kepada Redi yang kini sangat bersemangat.
Novan yang tertawa-tawa karena merasa menang hanya aku abaikan.
Aku penasaran apa yang
dimaksud Jenna ingin ice cream? Aku masuk ke Twitterku, aku search namanya
disitu. Terpampang disitu update status Twitter Jenna 15 menit yang lalu.
@jejennar : I want some ice cream please… Hot in
here!
Aku menghela nafas
panjang. Sedikit kesal. Cari perhatian banget sih, pengen ice cream ya tinggal
beli atau seengganya dia bisa langsung minta kepadaku. Begitu pikiran jahatku.
Tak biasanya aku cepat kesal dengan hal-hal kecil seperti itu. Namun Jenna
benar-benar menguji logikaku.
Dia
mungkin hanya melihatku sebagai seorang lelaki yang terjebak di dalam mimpi.
Aku ingin dia melihatku dengan seksama. Percaya bahwa aku tak hanya ingin melindunginya
namun juga ingin selalu membahagiakannya. Menjadi satu-satunya orang yang dapat
dia andalkan selain dirinya sendiri. Menjadi alasan tawa renyahnya setiap hari
dan bukan hanya sebagai bayang-bayang yang menghalangi pandangannya pada pada
apa yang di belakangku, masalalunya.
“Aku
berpikir kamu disana sedang memanggil namaku berharap aku membawakanmu sedikit
cahaya. Pada saat aku menghampirimu, ternyata memang bukan aku yang kau
nantikan hadirnya.” – Keanu
Ketakutan dan kesedihan
berbaur menjadi satu di udara yang ku hirup. Memenuhi setiap rongga dada yang
dengan cepat membuatku sesak. Disela-selanya, aku masih dapat mencium aroma
lembut keluar dari tubuhmu yang seakan meminta untuk selalu aku dekap. Namun
saat aku menerobos masuk ke dalam matamu, aku sangat yakin sesuatu di dalamnya
memerintahkanku untuk pergi. Namun egoku selalu menolak untuk melakukannya dan
aku yakin itu tak akan pernah terjadi. Ingin sekali aku terbebas dari
keterikatan yang menarikku ke dalam jurang penantian paling nista. Menarikmu
kesisiku dan memintamu berhenti menyiksaku seperti ini. Kamu membuatku terus
bertanya, seberapa besar luka yang mengisi hatimu agar aku dapat mengobatinya?
Dan seberapa besar cinta yang kau butuhkan untuk membuatku merasa lebih berharga?
Life
The world flashed before my eyes
So scared to loose
I want to touch the other side
Amd no one thinks they are to blame
I can’t get it right
Get it right
Since I met you
Loneliness be over
When will this loneliness be over?
( Map of Problematique – Muse)
Baginya, aku mungkin
hanya sederetan angka saja. Nomer satu, nomer dua atau entah nomer keberapa.
Mengesampingkan kehidupanku sebelumnya, dia tak hanya menjadi prioritas utamaku
saat ini. Namun dia bertahta dalam tujuan hidup yang sedang aku rangkai.
Kepercayaan diriku selalu membuatku merasa tinggi. Namun sekilas senyuman itu
membuatku selalu merasa terlempar lagi. Apa yang membuatmu
terlalu istimewa sehingga mampu meruntuhkan tembok angkuhku? Berpaling dari
tempat amanku yang kini sudah kau bakar satu persatu oleh tawa renyahmu. Nuraniku
mulai terkubur jauh di kedalaman hatiku, nafsuku terjebak dalam keserakahan. Dan
sepasang mataku tak mampu lagi membedakan
mana yang dapat dan tak dapat aku jangkau. Apakah kamu bangga dengan semua ini?
“Semenjak bertemu kebahagiaan
berupa kamu, bersenang-senang dengan yang lainnya tak pernah sesulit ini.” –
Keanu
Aku memejamkan mataku
sejenak untuk menyingkirkan segala isi pikiranku. Aku bukanlah seorang yang
pandai menerka isi hati, apalagi membacanya. Memang tak adil untukku memikirkan
Jenna yang terlalu antagonis di otakku. Lagi-lagi pikiranku menjatuhkannya dan
aku merasa sangat bersalah. Mungkin Jenna benar, aku hanyalah seorang pemimpi
yang dalam lubuk hatiku terdalam, hanya ingin membahagiakannya.
Aku berjalan menuju ke
westafel yang ada di luar kamarku. Berdiri di hadapan cermin dan membasuh
wajahku. Aku tersenyum kepada sosok dihadapanku. Menantang segala kelemahan
yang ada di dalamnya untuk tetap melangkah tak lagi sebagai bayang-bayang
semata. Tak mengapa berhenti
beristirahat saat kau lelah. Menyiapkan ancang-ancang tentang kehidupan yang
menanti didepan sana. Aku menghela nafas panjang dan siap melangkahkan kakiku
kembali.
“Aku memang berjalan perlahan,
namun tanpa jeda” – Keanu
“Udahan yuk main
gamenya, gue mau kasihin pesanan sepatu ke rumah Jenna” kataku sambil
membaringkan tubuhku di Kasur.
Kali ini Meow dan Redi
sedang asik dengan game dihadapannya. “Yuk lah… gue gak ada planning apa-apaan
sama sekali, Bebeb gue lagi uring-uringan jadi pusing” Novan yang bersandar
memegangi handphonenya nampak pasrah.
“Halaaah…. Urusan
percintaan mulu sih lo” kataku melemparkan bantal ke wajahnya. Dalam hati aku
mengamini, cinta memang super sulit untuk di deskripsikan.
“Kau drop aku di kampus
lagi Ken, motorku parkir disana… aku dak ikut nak packing” kata Redi masih
sambil focus dengan gamenya.
“Aaaaaaahhh
sialaaaaaaannn!!!” Meow berteriak dan mengarahkan tangannya pada wajah Redi
diiringi dengan tawa Redi yang terbahak-bahak. Kali ini Redi baru saja
mengalahkan Meow. “Latihan dulu sana yaaa… tunggu aku pulang mudik nanti kita
tanding lagi” kata Redi dengan nada sombong dan masih sambil tertawa.
Meow hanya menekuk wajahnya.
“Yuk ah berangkaaatt…. Drop gue di kampus juga Ken.. motor gue juga disana”
katanya lagi.
“Lo gak mau ikut Meow?”
tanyaku.
“Gak deh… nyokap minta
temenin ke tukang jait, ambil baju buat besok kondangan. Nanti keburu ngamuk
lagi” jawabnya kemudian.
Akhirnya kami berempat
bergegas pergi, meluncur ke tempat perempuan yang menyebabkan keresahan yang
sedang aku rasakan ini sekaligus perempuan yang punya obat untuk mengusirnya.
Sesampainya di kampus
kembali, aku menyempatkan diriku sejenak untuk mampir karena tak enak. Sore itu
suasana Kampus sedang ramai sekali. Beberapa anak kampus menikmati masa-masa
menjelang liburan panjang akhir tahun. Mereka menghabiskan waktunya untuk
berlama-lama mengobrol dengan gerombolannya masing. Aku berjalan ke tempat
teman-temanku berkumpul lengkap. Mereka langsung memberondongku dengan ribuan
pertanyaan setibanya aku disitu. Aku hanya menjawabnya asal-asalan. Diantara
deretan teman-temanku yang ramai, aku lihat Marisa ada di tengah-tengahnya. Dia
hanya memasang muka kesal lalu berjalan menghampiriku. Suasana yang ramai tak
memberikanku celah untuk menghindar, lagi.
“Ken, aku pengen
ngomong sama kamu..” katanya kemudian. aku hanya tersenyum mendengarnya.
“Ya udah ngomong aja
kataku akhirnya” sudah pasti aku tau apa yang akan keluar dari mulut Marisa
selanjutnya.
Marisa melirik ke arah
sekitar dan menarik lenganku, memerintahkanku untuk menjauh sedikit dari
keramaian. Aku hanya menghela nafas panjang mengikutinya dan berjalan gontai.
Dia mengajakku ke sudut selasar yang tak jauh dari teman-temanku. Aku sibuk
mengedarkan pandanganku dan membakar rokokku.
“Eh bandel banget sih
ngerokok di kampus” Marisa merebut rokokku dengan manja.
Lagi-lagi aku hanya
tersenyum, otakku sibuk merangkai kata-kata untuk kusiapkan menjawab
pertanyaan-pertanyaannya.
Aku mengambil rokokku
kembali dan membakarnya, kali ini Marisa tak berulah lagi.
“Kenapa Sa?” aku
bertanya tenang ke arah gadis dihadapanku yang wajahnya sekarang terlihat
gusar.
“Aku bingung sama kamu
Ken, datang dan pergi sesuka hati.” katanya sambil duduk di tembok pembatas
selasar.
Seingatku, aku sudah
sangat sering mendengarkan kalimat seperti itu meluncur di hadapanku. Tak hanya
dari Marisa. Biasanya aku meresponnya dengan jawaban-jawaban ambigu yang lembut
karena tak ingin lebih melukai perasaan perempuan-perempuan yang memang sudah
terluka itu. Sambil mengambil ancang-ancang untuk menghilang perlahan dari
pandangan mereka. Perasaan sesaat yang mereka rasakan padaku mungkin akan
dengan mudah digantikan oleh pria lainnya. Aku memang tak pernah benar-benar
memikirkan hal tersebut sehingga aku tak pernah ambil pusing sedikitpun. Lagipula
aku tak pernah memikirkan tentang apa yang perempuan-perempuan itu umpatkan di
belakangku. Walaupun sedikit banyak aku mendengar beberapa bisikan di belakang
sana yang menggambarkanku sebagai pria yang tak berperasaan, namun itu tak
menyulitkanku untuk menggandeng perempuan-perempuan lainnya. Gosip yang beredar
sepertinya tidak memudarkan pesonaku, jadi dimana letak salahku? Aku kan memang
menyambut mereka hanya karena ingin bersenang-senang. Satu hal lagi, aku tak
pernah memaksa mereka untuk mendekatiku juga.
Kali ini suara dihatiku
dengan lantang menyuruhku untuk berbalik arah dan aku memutuskan untuk
berhenti, tak hanya kepada Marisa yang kini sedang tertunduk lesu namun juga
kepada pikiranku, untuk tak melakukan hal seperti ini lagi. Aku sadar hal ini
hanya membuang-buang waktuku percuma. Aku merangkai kata untuk menarik garis
lurus dari segala kesalahanku selama ini.
“Sa, aku minta maaf
sebelumnya. Gak usah kamu jelasin lebih detail, aku ngerti apa yang pengen kamu
sampaikan sama aku.” Aku mengarahkan tatapanku kepadanya yang saat ini masih
saja cemberut.
Aku meraih bahunya
dengan kedua tanganku.
“Kamu cantik dan bisa
dapetin cowok yang lebih dari aku” Aku sadar itu ungkapan basa-basi, yang aku
tau setiap perempuan sangat senang dipanggil dirinya cantik. Marisa kini
menengadahkan wajahnya kepadaku. Sekilas kulihat matanya berkaca-kaca,
lagi-lagi itu bukan pengalaman pertama bagiku dan aku sama sekali tak merasakan
apa-apa.
“Kita berteman dan akan
terus seperti itu” aku meremaskan tanganku ke bahunya. Kini air mata Marisa
mulai mengalir dipipinya. Aku ingin mengusapnya namun aku urungkan karena itu
bukan tugasku.
Aku melihat ke arah
teman-temanku yang kini sedang larut dalam obrolannya. Hanya sesekali mereka
melemparkan pandang ke arahku kemudian mengacuhkan drama yang sedang aku
hadapi. Pemandangan seperti ini bukanlah yang pertama kali untuk mereka.
Wajarlah jika mereka sudah terbiasa dan memilih untuk tak mau tau.
“Aku punya kehidupanku
sendiri begitupun dengan kamu. Kita jalani speerti biasa dan lupakan apa yang
ada di belakang” kataku kemudian.
Aku melirik
kesekelilingku yang masih tampak ramai. beberapa pasang mata lainnya kusadari
sudah mulai melihat ke arahku dan aku sudah mulai merasa risih. Sekarang aku
menyiapkan pipiku, siap-siap jika kali ini aku mendapatkan tamparan kejutan.
Walaupun untuk yang satu itu aku tak pernah merasakannya hingga sekarang. Hanya
berjaga-jaga saja, pikirku.
“Gara-gara cewek
Jakarta itu?” pertanyaan Marisa tak kuduga lebih menyayat hatiku dibandingkan
tamparan yang aku harapkan.“Gak akan aku biarkan yah Ken!” katanya dengan
mengatupkan giginya menahan tangisannya yang lebih deras.
Aku
menggeleng-gelengkan kepalaku tak habis pikir. “Jangan gitu Sa, dari awal aku
kan udah bilang kalau kita gak pernah ada hubungan apa-apa” aku sedikit gusar.
“Aku gak terima kamu
ninggalin aku gitu aja, setelah semuanya ini.” Akhirnya Marisa menangis, air
matanya lebih deras kali ini. Aku agak kewalahan.
“Aku tau aku salah,
tapi dalam hal ini kita sudah sama-sama dewasa Sa.” Kataku akhirnya.
Marisa semakin menangis
kemudian pergi meninggalkanku yang masih berdiri tak habis pikir.
Ada cemas yang
menyerang hatiku, bukan cemas dengan Marisa yang kini menangis sederas itu.
Namun aku cemas akan apa yang akan terjadi kepada Jenna. Nada Marisa yang
sedikit mengancam sepertinya tidak basa-basi, namun aku masih belum bisa
menafsirkan apa yang akan Marisa lakukan setelah ini.
Apakah maksud
kata-katanya yang menegaskan “Setelah semunya ini…” aku mengehela nafas
panjang, memikirkan kesalahanku padanya sehingga dia sampai seperti tadi.
----------------
Saat itu langit sudah
malam aku terduduk di sebuah café yang lumayan sepi di dalam sebuah Mall di
Bandung. Aku sibuk dengan handphone dan kopi di hadapanku. Tak beberapa lama
kemudian, munculah perempuan yang mengenakan kaos ketat berwarna jingga dan rok
menggantung di atas lututnya. Cahaya lampu memperlihatkan siluet lekukan
tubuhnya dengan jelas malam itu. Dia tersenyum ke arahku dan aku membalas
senyumannya. Malam sudah semakin larut, udara yang dinginpun menusuk tubuhku.
Perempuan yang ada disebelahku mendekatkan tubuhnya disampingku, aku reflex merangkulnya.
Tak lama setelah itu, aku mengeluarkan tiket bioskop yang sudah aku beli
sebelumnya sengaja kupilih jam terakhir agar kondisi Mall sepi sehingga tak
banyak kemungkinan orang-rang yang aku kenal melihatku berada disini. Kami
bergegas karena film yang akan kita tonton akan segera dimulai.
Kurang lebih sekitar 2
jam kami menonton dan aku hanya fokus kepada film dihadapanku, hampir melupakan
keberadaan perempuan yang sedari tadi hanya berjalan disebelahku. Aku meliriknya
sekilas, terlihat wajahnya cemberut dan kesal sekali karena jarang aku ajak
bicara. Akhirnya aku genggam tangannya kulihat sekilas senyum terkembang di
senyumnya. Aku tersenyum berbicara di dalam hati. Perempuan tak seribet apa
yang kata orang bicarakan.
Sesampainya di mobil
aku langsung berniat mengantarkannya pulang ke kostannya. Disepanjang
perjalanan, dia banyak melemparkan pertanyaan-pertanyaan seputar kehidupan
pribadiku namun sudah pasti hanya kujawab seadanya saja. Aku memperhatikannya
yang sedaritadi sibuk dengan cerita-ceritanya, tak ada satupun ceritanya yang
aku hiraukan namun aku hanya mengangguk-angguk seolah aku mendengarkan. Lumayan
lah untuk membuang-buang waktuku yang tak tau harus berbuat apa mala mini,
begitu pikirku. Setibanya di kostannya yang tak jauh dari Mall tempat kami
bertemu, wajahnya tiba-tiba panik. Gerbang kostannya sudah digembok, aku tak
ambil pusing pada saat itu. Hanya saja aku bingung, aku tak mungkin
meninggalkannya seorang diri malam-malam begini. Aku sudah menyarankan untuk
menghubungi teman-temannya dan menginap disalah satu tempat temannya, namun dia
sibuk beralasan jika temannya mungkin sudah tidur semua. Aku lirik jam di
tanganku, wkatu sudah menunjukkan pukul 1 malam dan aku sudah lumayan lelah.
Aku memutuskan untuk pergi dari tempat itu. Perempuan disebelahku terus
bertanya menegnai rumahku. Mengingat rumahku yang selalu kosong, mungkin saja
jika dia aku ajak menginap disana. Namun tentu saja hal tersebut tak aku
lakukan. Akhirnya ku mengarahkan kendaraanku ke sebuah hotel dan check in
disana. Aku dan perempuan itu kini sudah berada di kamar hotel yang lumayan
nyaman. Dia menyuruhku untuk tak buru-buru pergi dan menunggu sampai dia
selesai mandi. Alasannya dia takut sendirian. Aku hanya mengiyakan. Berada
berdua di kamar Hotel dengan seorang perempuan memang bukan hal yang pertama
aku lakukan. tanpa perlu usaha lebih jauh lagi, orang dewasa sudah pasti tau
apa yang terjadi kemudian.
Paginya aku bangun
lebih awal. Perempuan disebelahku tertidur lelap sekali. Aku memandanginya
sekilas, tak ada niatan untuk aku bangunkan. Aku mencuci wajahku dan segera berpakaian.
Pergi menuju lobby dan memesan sarapan untuk diantarkan ke kamar yang aku
tinggalkan. Setelah itu aku pulang dan tidur lagi.
Begitulah singkat
cerita kedekatanku dengan Marisa. Bukan hal yang harus aku bagi, karena untukku
hal tersebut sangat wajar terjadi. Aku tak pernah memaksanya sama sekali, itu
pikiranku. Namun lagi-lagi kalimat Marisa yang sedikit mengancam membuatku
waswas kali ini.
Aku kembali berjalan
mengahampiri teman-temanku. Setelah berbincang-bincang menimpali celotehan
teman-temanku tentang Marisa alakadarnya. Nama Jenna tiba-tiba menelisik masuk
ke dalam segala pikiranku. Tanpa berpikir lagi, aku mengajak Novan segera
bergegas karena tak ingin berlama-lama lagi disini.
Diperjalanan aku hanya
terdiam mendengarkan musik. Tak pernah terjadi sebelumnya aku memikirkan
masalaluku yang saat ini sangat aku sesali. Selama ini aku hanya sibuk
menebak-nebak masalalu Jenna, tanpa sadar ketakutanku ini membalikan segalanya
ke arahku.
Novan akhirnya membuka
suara, kali ini nada bicaranya serius sekali “Kita ke Jakarta sama Jenna juga
kan?”
Aku mengangguk tak ada
alasan untuk menutupinya lagi.
“Gue yakin, urusan lo
sama Jenna bukan cuma urusan bisnis aja deh. Gue cowok Man..” katanya.
Aku hanya terdiam saja,
fokus dengan setir ditanganku. Dalam hati aku mengiyakan.
“Gini deh, kalau cuma
gara-gara Senja lo jadi gak enak sama kita-kita, buang jauh-jauh pikiran kayak
gitu. Ini urusan hati Man bukan cuma sekedar urusan gak enak sama temen.”
“Gue sama sekali gak
mikir gitu kok…” kataku kemudian.
“Bagus kalau lo gak mikir begitu, gue cuma khawatir
sama lo aja. Soalnya kita belum tau Jenna itu kayak gimana” sambungnya agak
cemas.
“Maksudnya?” aku
penasaran. “Lo khawatir karena gue gak tau Jenna kayak gimana atau karena lo
udah tau gue kayak gimana?” aku menambahkan dengan penegasan dalam kalimatku,
mengingat apa yang terjadi antara aku dan Marisa tadi.
Seakan mampu membaca
ekspresiku Novan melanjutkan “Kalau sama Marisa atau sama yang lain-lainnya gue
gak ambil pusing Man..”
“Terus?”
“Yang gue tau kan Jenna
kemana-mana selalu sama Senja setahun belakangan ini, masalah hubungan mereka
kayak gimana, gue juga gak tau”, katanya lagi.
“Mereka udah putus
kok..” kataku kemudian.
“Oh…” kata Novan
mengangguk-angguk.
“Lo takut Jenna cuma
manfaatin gue sebagai pelampiasannya aja atau lo takut gue manfaatin Jenna yang
emang lagi linglung butuh perhatian?” aku bertanya, kali ini Novan hanya diam
saja.“Gak bakalan lah Man.. kayak anak bocah aja. Lagian gue juga bisa kok
ngejaga sikap professional gue… Woless…” kataku kemudian, namun tak menampik
itu salah satu hal yang aku khawatirkan juga.
“Masalahnya kali ini lo
datang ke Jenna bukan buat senang-senang” Novan menerawang. “Dan gue yakin
Jenna gak butuh perhatin lebih”, katanya kemudian, tak sesuai dengan
ekspektasiku. Aku terdiam sejenak.
“Kalau memang ternyata
takdirnya Jenna datang di hidup gue cuma buat kasih pelajaran sama gue, gue
bisa apa?” aku menirukan kata-kata Jenna.
“Gilak!” Novan
berteriak tak habis pikir. Aku hanya tersenyum dan bernyanyi mengikuti alunan musik
yang daritadi sudah memenuhi mobilku.
How do we get here
Well I used to know you so well..
How do we get here
Well I think I know…
There is something I see in you
It might kill me
I want it to be true..
( Decode – Paramore )
Kali ini aku tidak memarkirkan
mobilku di tempat biasa. Aku berbelok ke arah Mini Market yang berada di
samping Hotel dekat rumah Jenna. Aku masuk ke dalamnya dan membeli beberap
cemilan dan minuman ringan.
Setibanya di dalam
mobil, aku langsung mematikan mesinnya dan mengajak Novan untuk turun. “Kok
kita parkirnya disini?” Novan kebingungan.
“Iya kita jalan kaki
darisini aja, gue males parkir lagi” kataku kemudian.
Aku meminta bantuan
Novan untuk memegangi kantong plastik yang aku pegang dan berusaha meraih
bungkusan milik Jenna yang kini sudah tergeletak di belakang.
“Ice cream???” Novan
tertawa melihat isi kantong plastik yang saat ini ada ditangannya.
Aku hanya tertawa-tawa
saja malas berdebat. Sepanjang perjalanan Novan hanya menggodaku saja.
“Kayak gini lo bilang wolees
bro?”
“Emang gue juga pengen
ice cream kok, geraaaaaaaaaaah…………”
“Gerah darimana? Adem
begini udah” Novan celingukan, memang udara sore ini sangat sejuk sekali,
ditambah rimbunnya pepohonan yang ada disepanjang jalan kami.
“Hati gue geraaah…”
kataku kemudian.
“Sejak kapan urusan
perempuan bikin lo gampang kepanasan?” Novan hanya mencemooh.
“Mumet nih Marisa
lama-lama..” kataku akhirnya.
“Ya elah, yang bikin
mumet Marisa apa Jenna?’ katanya meledekku.
“Marisa lah…” aku
bersikeras meyakinkan.
“Gini deh ya, gak ada
di kamus lo sebelumnya lo mumet sama Marisa. Dari awal lo pasti tau, kayak yang
udah-udah aja deh. Dia juga pasti ribet.” katanya lagi masih sambil tertawa.
“Gue juga kan manusia
mas bro…” aku lelah terus menghindar.
“Jadi sekarang lo
bingung mesti milih Marisa apa Jenna?” dia meledekku tak kepalang.
“Gilak lo ya. Jenna lo
bandingin sama Marisa?” kataku yang reflex menoyor kepalanya.
“Oh kalau gitu sekarang
Marisa jadi salah satu alasan lo buat hanya setia pada satu cinta” Novan
berkata seolah dia sedang berpuisi. “Akhirnya sang Pangeran menemukan Tuan
Puterinya dan meninggalkan Selir-Selirnya, kemudian meraka hidup bersama,
selamanya” katanya semakin ngarang.
Dalam hati aku hanya
mengamini. Semoga langkah yang aku ambil ini bisa menyelamatkan langkahku yang
selama ini sudah terlanjur sesat.
Dihadapan Novan, aku hanya merespons celotehannya dengan tertawa.
Tak jauh dari rumah Jenna, aku sudah mendengar
suara musik yang sudah pasti berasal dari kamarnya. Kamipun sampai dan aku
langsung mengetuk pagar rumahnya, Jenna keluar dari kamar yang jendela dan
pintunya sengaja dibiarkan terbuka. Tak seperti orang yang seharian di rumah,
tampilannya sangat rapi sekali. Ada make up yang tipis di wajahnya, bibirnya
diberi lipstick warna pink muda senada dengan warna pipinya yang merona. Rambut
panjangnya dibiarkan tergerai, tampak lembut sekali. Jenna tersenyum berdiri di
daun pintu menggunakan mini dress putih bermotif bunga warna ungu dan hijau.
Wangi parfumenya yang lembut menyeruak sesaat dia menghampiri kami berdua di
pagar dan membukanya. Tak bisa aku pungkiri, dia memang bisa meredakan cemas
dihatiku saat ini.
“Mau kemana Master?”
kataku penasaran.
“Pertanyaannya itu abis
dari mana?” katanya sumringah.
“Dari mana atuh Jen…
cantik banget…” Novan menggodanya sambil memberikan bungkusan plastik di
tangannya. Jenna lagi-lagi hanya tersenyum dan hanya meletakkan bungkusan
plastik tadi di sofa.
“Aku dari pagi di
salon, sampe ketiduran berapa kali aku lupa yang jelas sekarang aku udah seger
parah!” jawabnya ringan.
Jadi, itu yang
dikerjakan perempuan yang seharian ini membuatku gusar… memanjakan dirinya di
Salon seolah tak terjadi apa-apa. Keterlaluan! Atau memang aku yang mulai
berlebihan.
“Makan dong ice
creamnya, nanti keburu cair…” kata Novan masih dengan nada menggoda.
“Ice cream?” Jenna
bertanya balik kemudian dia tertawa. “Ohh…. Iyaa tadi aku pengen banget ice
cream, soalnya pas lagi sauna panas banget. Aku sampe lupa”, katanya sambil
tersenyum.
Meskipun sore ini cukup
teduh, aku tetap merasakan panasnya darah mengalir dalam pembuluh nadiku.
Mengantarkannya tepat ke dalam jantungku dan membuatnya seakan membuncah. Aku
merasakan sesuatu tak lagi berada pada tempatnya. Hatiku telah hilang dicuri
orang.
Aku menghela nafas
panjang.. Ya ampun! Pikirku.
Setiap aku melihatnya tertawa
seperti itu, aku selalu berpikir kebohongan apa yang sedang dia sembunyikan
dibalik senyumannya yang begitu menawan. Aku tau dia tak pernah gagal menangkap
segala perhatian dan tatapanku, namun dirinya dengan mudah berpaling seolah tak
pernah terjadi apa-apa. Disatu sisi aku
berharap bahwa apa yang aku rasakan akan tetap seperti ini. Namun disisi
lainnya, aku ingin sebaiknya kita tak pernah bertemu sama sekali.
Jenna kemudian
menghampiriku dan menyodorkan Ice Cream ditangannya ke arahku. Aku menggigitnya
dan mengernyit ngilu. Jenna lagi-lagi hanya tertawa dan kembali menikmati Ice
Creamnya lagi.
Sikapnya yang lembut
berbanding terbalik dengan tatapannya yang selalu dingin kepadaku. Aku tak tau
mana yang lebih dominan. Perasaan memperdulikanku atau keinginannya yang kuat
untuk selalu mengabaikanku. Dibalik segala kata-kata dan gerak-geriknya,
mungkin dalam hati dia juga berjuang keras untuk tak menyakitiku.
Ketika aku memejamkan
mataku, aku selalu memimpikan sebuah tempat yang teduh. Tempat aku menunggu
pikirannya yang sedang berkelana jauh. Terkadang dia terbang sangat tinggi
sehingga mengilang dibalik awan yang kelam, tak terjangkau lagi dari
penglihatanku. Petir bersahutan dalam pikiranku. Takdir menungguku segera tiba
dalam dekapannya, sementara dunia sibuk berputar menungguku menetapkan pilihan.
Pergi meninggalakannya yang kini tak lagi aku lihat dalam pandangan atau tetap
menantinya dengan menyiapkan sejuta pelukan.
Kini aku tau bagaimana
rasanya mendengarkan suara-suara dalam kepalaku dengan sangat jelas. Yang
selalu menderaku dengan ribuan harapan saatku menutup mata. Matahari perlahan
mulai menenggelamkan tahtanya di ufuk barat. Aku merasa cahayanya mulai
mengkhianatiku yang sedari tadi hanya berharap kaku.
“Besok kita ke Jakarta
ya, jalan agak pagian aja biar gak macet”, kataku akhirnya.
Jenna duduk disebelahku
dengan pandangan tak percaya. “Iya…” kataku kemudian.
“Besok apa lusa sih?”
Novan kebingungan. Aku mengedipkan mataku pada Novan.
“Okay…”katanya mengangguk
tak banyak berkomentar.
“Berarti aku mesti
buru-buru packing nih” Jenna terdengar sangat antusias.
Aku sedikit kesal
mendengar nada bicaranya. Untuknya kebersamaan kami setiap hari mungkin tak ada
pengaruhnya. Sementara aku bingung harus menyambutnya dengan ekspresi wajah
seperti apa. Karena aku sudah mulai terbiasa dengan hariku yang selalu ada dia
setiap detiknya dan belum siap jika harus jauh darinya, walaupun hanya untuk
beberapa hari saja.
“Ini pesanan hari ini
Master…” aku menyerahkan secarik kertas dalam tasku.
“Good… good nanti aku
kirimin ke Mas Egi by email” katanya lagi.
Berhubung Jenna
menyebut nama itu, aku langsung teringat dengan bungkusan kecil yang sedaritadi
aku abaikan.
“Eh nih oleh-oleh
kamu!” kataku setengah meledek.
“Ya udah taruh aja
disitu”, kata Jenna sibuk dengan Ice Cream dan catatan ditangannya tak ada
sedetikpun dia menoleh ke arahku.
“Gak dibuka dulu itu?
Gak penasaran apa?” kataku menggodanya.
“Kamu penasaran ya?”
dia mnggodaku balik. “Ya udah aku buka deh nih”, Jenna hanya tersenyum dan
meletakkan catatan ditangannya kemudian menyodorkan gagang ice cream yang
sedaritadi dia pegangi ke arahku. Kini tangannya sibuk membuka bungkusan itu.
Aku menghabiskan Ice Cream yang kini sudah mulai mencair itu.
Lagi-lagi aku hanya bisa
menggaruk-garuk kepalaku saja. Tak habis pikir dengan jalan pikirin perempuan
di sampingku. Dia selalu tau apa yang aku inginkan, aku memang penasaran tapi
menembakku langsung di depan wajahku dengan sikapnya yang seolah semua itu
wajar, membuatku ingin pergi saja.
Akhirnya bungkusan ini
sekarang sudah terbuka, Jenna memeganginya sambil memandanginya. Ditangannya
kini sudah ada Jam tangan mewah berwarna silver bertabur permata kecil
disekelilingnya. Dari tampalinnya saja aku sudah tau bahwa itu adalah jam tangan
mahal dari salah satu brand ternama. Jenna tak berkomentar apa-apa, hanya
memandanginya dan kemudian mengambil secarik catatan kecil yang melekat dalam
tempatnya. Dia membacanya dan segera meletakkan semua itu di sampingnya.
Aku reflex mengambil
catatan itu dan membacanya. “Semoga kamu tau waktu dan masih ingat jalan
pulang” begitu tulisannya.
“Gak sekalian aja nih
dia ngasih kamu kompas biar tau arah pulang” aku nyinyir setengah mati,
kata-kata itu meluncur saja dari mulutku sesaat setelah membacanya.
“Kenapa gak sekalian
aja kasih aku Peta… mungkin dia pikir aku Dora” Jenna ikut tertawa mendengar
reaksiku.
Novan meraih jam tangan
itu dan sibuk membolak-balikanya seolah kekaguman. Aku bersikap senormal
mungkin, menertawakan seolah hal tersebut lucu. Jangankan jam tangan seperti
itu, apapun yang Jenna inginkan aku masih sanggup mengambilkan. Apa Jenna
sadar, dihadapannya kini ada orang yang sudah mati berulang kali dipikirannya
hanya karena ulahnya yang demikian. Dalam dadaku yang sedaritadi bergejolak, aku
rasakan cemburu yang menggebu-gebu. Aku tak tau masalah apa yang Jenna
tinggalkan yang jelas aku sama sekali tak ingin dia kembali ke Jakarta saat ini.
“Ya udah aku pulang
ya.. udah mau Maghrib nih” tak sanggup lagi menahan gejolak yang ada dalam
hatiku.
Jenna menoleh kali ini,
“kok cepat banget?” tanyannya dengan wajah yang polos.
Aku tersenyum segan dan
mengajak Novan untuk segera bergegas. Sebenarnya aku masih ingin berada disitu,
namun perasaanku sudah sangat tak karuan. Tanpa berbasa-basi lebih lama lagi,
aku melangkahkan kaki seribu dari tempat itu.
Diperjalanan, Novan
terus saja menceramahiku. Kata-katanya hanya berpendar saja dipikiranku, sama
sekali tak ada yang aku dengarkan.
“Kalau lo kayak gitu
terus yang ada Jenna bingung…” Novan meyakinkan.
“Kenapa harus bingung?”
aku mulai mendengarkan kata-katanya.
“Ya bingung lah.. mau
lo itu sebenrnya apa?” katanya menirukan ekspresi Jenna.
“Gue kan emang gak mau
apa-apa”
“Anak SMP juga tau
kalau cara lo itu menggambarkan orang yang lagi PDKT dan sekarang lagi cemburu
setengah mati.” Dia to the point akhirnya.
“Terus?” aku
menanggapinya dengan datar.
“Jenna itu pintar Ken,
dia gak sebodoh yang lo kira”
Aku menghela nafas
panjang.”Yang bilang dia bodoh itu siapa?” aku meradang.
“Ini sih namanya bukan
lo yang mau mainin Jenna. Tapi lo yang udah kebawa sama permainannya Jenna”
katanya kemudian.
“Maksud lo apa?” kali
ini aku benar-benar serius.
Aku heran bukan
kepalang kenapa Novan bisa berpikir bahwa aku dan Jenna sedang dalam keadaan saling
mempermainkan.
“Nih ya, gue yakin
Jenna sebenernya tau lo suka sama dia.”
Jleb! Kata-katanya
Novan meluncur halus ke dalam hatiku. Jantungku meresponnya dengan cepat dan
langsung berdegup tak santai.
“Dan Jenna gak suka
sama gue?” tanyaku dengan tawa sungkan.
“Gue gak bilang Jenna
gak suka sama lo ya, cuma perempuan seperti Jenna itu gak gampang ditebak. Lo
mesti siapin segala konsekuensinya kalau emang mau maju terus”, Novan nyerocos
seolah dia merupakan seorang yang sangan expert.
Aku tak suka dengan
nada bicaranya. ‘Perempuan seperti Jenna’, perempuan seperti apa maksudnya? Dan
apalah artinya aku sudah masuk ke dalam permainannya Jenna. Aku tak pernah
berpikir Jenna mempermainkanku. Sama sekali tidak. Hati kecilku bersikeras
membela Jenna.
“Jenna kayak gimana sih
emang kalau lagi pacaran sama Senja?” akhirnya aku bertanya. Menanyakan
pertanyaan yang sudah lama lalu-lalang dalam pikiran nampun tak sempat aku
sampaikan.
“Jenna itu mendominasi.
Gue aja jarang ketemu Senja semenjak mereka pacaran.” Novan menjelaskan.
“Lagipula yang gue tau, Senja datang ke Bandung itu buat berkarya bukan buat
urusan percintaan dan gue tau Senja itu tekadnya kuat banget.”
“Hubungannya sama
Jenna?” tanyaku lagi.
“Entah gima komitmen
mereka berdua yang jelas mimpi-mimpinya Senja udah ada ditangan Jenna gue rasa”
katanya menebak-nebak.
“Jenna ngelarang Senjan
buat ngeband atau semacamnya emangnya?” kataku langsung keinti, takutnya Novan
tak enak jika blak-blakan.
“Bukan Jenna yang
maksa, Senja yang emang kecintaan” Novan menambahkan.
“Terus?”
“Bagus sih ya.. tapi
gue rasa Jenna gak secinta itu sama Senja buat layak dapetin pengorbanannya
Senja”
Kali ini aku kaget
bukan kepalang. “Kenapa dia gak layak?
“Senja pernah bilang,
Jenna lebih mencintai masa lalunya dan terjebak di dalamnya. Selamanya.” Entah
Novan hanya menerka atau tidak, aku hanya mampu terdiam mendengarkan ceritanya.
Terlintas nama Ghanu dipikiranku, apakah itu memang Ghanu yang selama ini
menahan langkah Jenna untuk mengungkapkan perasaan aslinya. Tapi rasanya itu
tidak mungki, hatiku menyangkalnya.
“Masa lalu yang kayak
gimana sih yang lo maksud?’ aku menegaskan.
“Gue rasa Senja gak
pernah bahas mantan-mantannya Jenna. Lebih ke hidupnya aja.” Novan sepertinya
tau banyak tentang Jenna namun dia tak pernah bercerita sedetail sekarang.
“Senja sering cerita
sama lo?” lagi-lagi aku butuh sebuah ketegasan.
“Jarang, kalau lagi ada
waktunya aja.” Katanya singkat.
“Lo kebawa perasaan
banget sih Van.” Akhirnya aku mencoba santai.
“Kebawa perasaan
gimana?’ kali ini Novan bingung.
“Mungkin karena lo lagi
ada masalah sama Bella jadi lo take everything seriously” kataku tertawa.
“Yeeeeh…. Ini anak…”
dia hanya menggeleng-gelengkan kepala.
Apa yang Novan katakan
tak begitu mempengaruhiku. Memang sedikit kuat dalam ingatanku, namun aku tak
terlalu memperdulikan. Aku terfokus pada lampu merah yang ada di hadapanku. cahaya
kasih sayang dalam diriku belumlah padam, tetap aku jaga untuknya yang mungkin
saat ini sedang tersesat.
Novan
menggoyang-goyangkan tubuhku agar aku segera memacu kendaraanku kembali karena
lampu kini sudah berwarna hijau.
Aku melanjutkan
perjalananku yang terasa sangat jauh sekali, seperti aku yang akan terus
melangkah memegangi cahaya harapanku untuknya, yang akan aku berikan suatu saat
dia membutuhkan.
Aku menyingkirkan semua pikiran-pikiran yang
tak perlu. Banyaknya kendaraan yang membanjiri jalanan kali ini benar-benar
membuatku tersendat-sendat. Ditengah
kemacetan jalanan Kota Bandung, aku menyandarkan tubuh di jok mobilku. Aku
hanya perlu terus bernafas untuk menghidupi semua mimpiku. Aku membuka
handphoneku dan mengcheck Twitterku. Di timeline aku lihat Jenna mengupload
photnya sedang mendekatkan Ice Cream ke mulutnya sambil tersenyum manis
tertulis captionnya disitu. “Thank’s for bring my mood back” katanya. Aku kencangkan
volume music yang sedaritadi hanya samar kudengar. Tak kusadari bahwa aku baru
saja tersenyum dan reflex mereply cuitannya
Reply to @jejennar : kwords : Besok kita makan Ice
Cream lagi ya J
Tak lama kemudian Jenna merespons Twitt ku.
Reply to @kwords : @jejennar : With your pleasure J
Aku membayangkan senyumannya yang sudah pasti manis
sekali.
Notifikasi lainnya muncul.. kali ini pemilik akun
@redinafiza ikut nimbrung di twitterku
Reply to @jejennar @kwords : redinafiza : Uhuk!
Aku langsung meresponnya.
Reply to @redinafiza @jejennar : kwords : Batuk
minum obat woyy… bukannya ngetweet!
Reply to @kwords @jejennar : @redinafiza : Tau gitu
aku ikut L
Reply to @redinafiza @jejennar : @kwords : hahaha
suruh siapa balik.
My
heart a stereo it beats for you so listen close
Hear
my thought in every note
Make
me your radio turn me up when you feel low
This
melody was meant for you
Sing
along to my stereo
(
Stereo Hearts – Gym Class Heroes feat Adam Levine)
Hanya ada Redi yang
memenuhi Timelineku kali ini sementara Jenna menghilang entah kemana. Akupun
meletakkan handphoneku lagi dan merambat mengarungi kemacetan dihadapanku.
Setelah berjuang
mengarungi kemacetan sekitar 1 jam lebih, akhirnya kami sampai juga. Aku segera
bergegas menuju ke kamar dan merebahkan tubuhku di kasur sementara Novan sedang
asyik teleponan dengan pacarnya di balcon. Aku merasakan seluruh pembuluh
darahku dan melemaskan otot-ototku yang sudah sangat kaku. Punggungku pegal
bukan kepalang karena terlalu lama duduk. Aku memejamkan mataku sejenak namun
pikiran tentang Jenna segera menyeruak masuk tanpa aku undang. Aku bosan
sendiri dan memikirkan apa yang sudah aku lakukan hari ini. Menyesal karena hanya
sebentar saja mengunjunginya. Seberapa besarpun pikiran burukku tentangnya, aku
tetap merindukannya. Sampai-sampai dadaku sesak memikirkannya. Kalau saja
perjalananku yang macet tadi tidak menguras tenagaku, ingin sekali aku meluncur
ke rumahnya untuk menjemputnya kesini.
Akhirnya kuputuskan
untuk meraih handphoneku dan mencari nama Jenna di contact BBM ku. Lama aku
termenung, memikirkan hal apalagi yang harus aku perbuat untuk mendapatkan
perhatiannya. Aku meletakkannya kembali dan sibuk dengan pikiranku sendiri.
Paranoid akhirnya
menyapa lamunan panjangku, suara-suara di dalam kepalaku bertambah nyaring. Aku
sangat takut kehilangan moment-moment berhargaku dengan Jenna jika aku terlalu
seperti ini. Walaupun sudah berjuang dengan sangat kuat untuk mengabaikan aku
sangat yakin akan perasaanku kepada Jenna yang bukan hanya sekedar ketergantungan
semata. Jenna bukan lagi menjadi bagian dalam hidupku, namun kini sudah candu
untukku.
Kenangan yang Jenna
tinggalkan di belakangnya menamparku dan membuyarkan segala harapanku. Seperti
menumbuhkan luka baru dalam jiwaku. Aku terhuyung-huyung memunguti kepingannya
kembali, satu persatu. Genderang perang dalam batinku saling bersahutan,
memerintahkan diriku untuk segela bersiap menyerang. Benteng kepercayaan diri
dan rasa aman dalam naungan istana ku sendiri, kini tak lagi aku temukan
memaksaku untuk membangun segalanya dari awal lagi. senyuman Jenna memburuku
dari kejauhan. Mendorongku untuk menyerah dan takluk dihadapannya. Namun tak
semudah itu aku iya-kan. Sebenarnya aku tak ingin jadi orang yang pertama kali memulai
segala pertarungan batin ini. Tapi cinta selalu tau untuk memilih menjatuhkan
baranya pada hati yang lengah kemudian membakarnya tanpa peduli apa yang
disisakan setelahnya. Tak seharusnya aku menyalahkan Jenna, pemilik panah
berapi yang saat ini sudah melepaskan anak panahnya yang berkobar tepat ke
arahku. Di kedalaman hatiku tersadar, bahwa akulah yang telah memacu nyalanya
api dalam pertempuran ini dan menjadi satu-satunya yang masih bingung dengan
pertahanan macam apa yang harus aku gunakan untuk memadamkannya. Cinta tak
pernah salah, hanya kadang manusianya saja yang selalu membuat rumit. Aku tak
tau untuk apa dan siapa pertempuran dalam hatiku ini. Karena sejauh apapun aku
melarikan diri, hatiku lebih terluka. Aku putuskan untuk tetap tinggal dan
menikmati setiap kobaran api yang kini sudah membumi hanguskan segala yang aku
punya, tanpa tersisa…
“Kamu sebentuk hati, sementara aku
adalah anak panah yang hilang arah” - Keanu
Saat kegusaraan hati
mulai menguasai sebagian logika, sedikit percakapan denganmu mungkin akan
sedikit membuatku lupa, bahwa diri ini sedang terluka.
Keanu :
Master…
Jennara : Iya….
Keanu : Kaki aku luka...
Entah apa yang aku
pikirkan, sibuk mencari perhatiannya menjadikan ide gilaku mengambil alih
kelakuan isengku.
Jennara : Hah? Kok bisa?
Keanu : Iya, tadi aku ngantuk banget. Gak sengaja
nyenggol Vas Bunga. Tau-tau kaki aku berdarah. Banyak banget, aku pusing..
Aku bertingkah sedrama mungkin ingin tau mengetahui responnya
lebih lanjut.
Jennara : Kmau takut darah?
Keanu : Iya..
Jennara : Minta tolong Bibi bersihin lukanya gih,
jangan dibiarin lama-lama nanti infeksi
Keanu : Bibi aku panggilin daritadi tapi gak ada.
Jennara : Kerumah sakit gih Mas..
Keanu : Mau jalan aja gak bisa, ke Rumah sakit gak
sanggup nyetir
Jennara : Novan mana?
Keanu : Dia udah aku drop-in pulang, aku BBM dia pending.
Lama
aku tunggu tak ada jawaban lagi dari Jenna. Aku merasa menyesal sudah
membohonginya. Mungkin kali ini Jenna sudah tak habis pikir dengan kelakuanku.
Aku kan hanya iseng, hati kecilku melontarkan pembelaan. Jenna mungkin ilfeel
dan menganggap aku seperti anak kecil yang merengek minta perhatian sampai-sampai
dia tak lagi merespons BBM ku.
Aku
bergegas ke kamar mandi. Merenungkan apa yang baru saja aku lakukan dan
tenggelam di bawah guyuran shower.
There's
a part of me you'll never know
The
only thing I'll never show
Hopelessly
I'll love you endlessly
Hopelessly
I'll give you everything
But
I won't give you up
I
won't let you down
And
I won't leave you falling
If
the moment ever comes
(
Endlessly – Muse )’
Aku
bimbang bukan kepalang. Perasaanku yang naik turun terhadap Jenna, itu sama
sekali tak mengubah kerinduanku akan sosoknya yang suka semena-mena. Setelah hampir
2 jam aku berada di kamar mandi. Air panas yang menyirami seluruh tubuhku
akhirnya sedikit membantu melepaskan otot-otot di keplaku yang kaku. Aku
melangkahkan kakiku ke dalam kamarku. Kulihat Novan yang sudah selesai dengan
teleponnya kini duduk di sofa dengan wajah tegang. “Kenapa lo? Tanyaku dengan
bingung. Novan melirik ke arah samping kirinya. Aku yang masih berdiri dipintu
dengan mengenakan handuk maju melangkahkan kakiku untuk dapat melihat apa yang
Novan tunjukkan. Alangkah kaget aku melihat sosok Jenna yang tadi terhalang
oleh lemari sedang berdiri mematung dengan tatapan yang berkaca-kaca.
Aku
menelan ludahku dan menghamipirinya, dia masih menatapku dengan nafas yang
memburu. Matanya yang berkaca-kaca kini mulai meneteskan air mata. Akupun
memeluknya. Jenna tak membalas pelukanku pun tak bergerak sama sekali. Aku
merasakan tubuhnya gemetar dan jantungnya berdegup kencang. Aku memegangi
tangannya yang dingin. Dan dapat merasakan nafasnya yang cepat. Setelah
beberapa detik, aku lihat wajahnya dan menghapus butiran air mata yang mengalir
di pipinya.
“Aku gak kenapa-kenapa Master..” kataku pelan.
Aku
kembali memeluk perempuan dihadapanku yang sedari tadi tak mengeluarkan sepatah
kata apapun. Hanya terdiam mematung. Aku tak peduli dengan apa yang Novan
pikirkan tentangku.
I’ve never shoot to miss. Kataku dalam hati.
No comments:
Post a Comment