JENNA
Udara
malam Bandung yang dingin menyapu wajahku tak santai, aku berjalan menyusuri jalanan tak terlalu
luas yang sepi. Rumah di kiri kananku nampak tak berpenghuni. Bandung
menggigil, pikirku sambil memangku kedua tanganku. Aku masih bisa merasakan
sorot lampu mobil Keanu di belakangku, sepertinya dia membantu memberikan
penerangan yang terbatas karena lampu jalanan yang redup dan lampu-lampu teras
rumah yang berderet menjadi satu-satunya sumber cahayaku malam ini. Aku ingin
membalikkan badanku untuk memastikan, namun udara yang menusukku membuatku
kakiku seolah kaku dan terus mempercepat langkahku sampai akhirnya
ditenggelamkan oleh sebuah tikungan.
Kunci
pagar berdecit saat kubuka, kuedarkan pandanganku. Rumah malam ini sangat sepi
tidak seperti biasanya. Aku langsung berjalan membuka pintu dan masuk ke
dalamnya. Suasana seisi rumah saat itu gelap gulita, hanya lampu luar saja yang
dibiarkan menyala. Dalam rumah yang cukup luas ini, aku tidak tinggal sendiri
dan biasanya rumah ini selalu ramai tidak pernah sesepi ini. Aku membereskan
beberapa barang yang masih berserakan di ruang tamu. Bekas makanan dan asbak
rokok. Merapikan sprei kasur yang biasa digelar di sela-sela ruang tamu persis
dihadapan tv. Kemudian berbalik arah menuju kamar, menyalakan lampu dan
merebahkan tubuhku di atas kasur. Kuedarkan pandanganku kesekeliling kamar, ada
notes berwarna kuning terang tergantung di pinggir meja riasku. Aku bangun
sejenak dan mengambil notes tersebut. Terpampang deretan tulisan yang tak asing
lagi dimataku, Senja.
Dear Jenna,
Aku pulang ke rumah flight terakhir malam ini. Sorry gak nunggu kamu pulang dulu. Anak-anak di
rumah juga pulang semua. Mendadak dapat tiket pesawat promo. Quota internetku
habis dan aku belum isi pulsa. Nanti aku kabarin as soon as I arrive. Take
care.
Sincerely, Senja
Hanya
itu? Pikirku. Aku meghela nafas panjang dan kuraih handphoneku. Kucari nama
Senja di list BBM dan mulai mengetik sederetan kalimat.
Jennara : I got your
messages, take care dear. Call me asap.
Hanya ada tanda
checklist satu saja tanpa ada tanda delivered. Aku mulai mengetik kembali.
Jennara : Mungkin nanti
kalau udah mendekati tahun baru juga aku pulang ke Jakarta.
Lagi-lagi
checklist satu, tanda pesanku pending. Ada sesak dalam dada, namun aku tak tau
itu apa. Aku tau hubunganku dengan Senja sedang dalam keadaan yang tidak
baik-baik saja. Alasannya masih tetap sama, sudah pasti karena ego kami berdua yang
tak mau mengalah. Diantara kami berdua sama-sama tak ada yang mau mengaku
salah. Karena memang benar-benar tak ada yang salah. Aku melanjutkan kembali
mengetik beberapa kalimat, kali ini aku kirimkan melalui pesan singkat.
Jennara : Aku tau kamu
lelah denganku, aku tau kamu masih muda dan banyak yang harus kamu kerjakan
untuk mencapai semua mimpimu dan menghidupi cita-citamu . Merampas satu-satunya
kebahagian yang kamu punya memang bukan hak-ku.
Yes, kali ini
delivered. Jari-jariku dengan lincah mengetik kembali.
Jennara : Selamat
berlibur, selamat berkumpul bersama keluarga dan teman. Have fun!
Aku melanjutkan
kalimatnya lagi.
Jennara : Berkabar!
Semua pesanku kini
delivered. Ada nada sedikit kesal dalam pesanku, karena merasa ditinggalkan
begitu saja. Aku berpikir sejenak.
Jennara : I’m gonna
miss you…
Pesan yang terakhir tak
jadi kukirim, tersimpan rapi dalam draft message ku.
Hanya memandangi layar handphone mengharapkan adanya balasan. Namun tak
kunjung notifikasi handphoneku menunjukkan keberadaannya. Aku
berjalan kembali ke dalam rumah, aku terdiam mematung. Rumah yang biasanya
ramai karena ada 5 kamar dan semuanya terisi kini tampak sangat suram. Sepi,
hanya ada aku sendiri di rumah itu. Semuanya pulang ke kotanya masing-masing,
menyiapkan liburan tahun baru yang panjang. Sepertinya ada bagian kecil yang
hilang dalam diriku. Lagi-lagi aku harus menerima kenyataan, bahwa aku
benar-benar sendirian dan tak punya rencana apa-apa. Aku berjalan menuju
kamarku lagi, setelah memastikan rumah dan pagar kukunci. Hanya bolak-balik
dari kamarku ke dalam rumah membuatku lebih gelisah. TV di kamar kubiarkan
menyala, agar sekedar ada suara-suara, tak hanya suara nafasku saja yang
terdengar jelas karena saking sunyinya. Aku bergegas mandi untuk sedikit
merefresh kecemasan tak jelas yang sedang aku hadapi. Tubuhku sedikit menggigil
setelahnya, aku melapisi baju tidurku dengan sweater dan menggunakan kaos kaki.
Tiba-tiba notifikasi di handphoneku berbunyi, aku pikir Senja, ternyata nama
Keanu terpampang disitu.
Keanu : Tidur Master…
Jennara : Kamu udah
sampe?
Keanu : Aku lagi bosan
di rumah, ini nginep di Hotel dekat Setiabudi. Dekat rumah juga sih.. Hahaha
Jennara : Ngapain?
Keanu : Bosan,
biasalah..
Jennara : Gak ada
kerjaan banget kamu tiap malem yaa..
Keanu : Kamu gak nanya
aku disini sama siapa?
Jennara : Sendiri pasti
kan, kamu berharap aku kesana nyamperin?
Keanu
is typing…
Tak
ada jawaban dari ujung sana, mungkin kata-kataku terlalu kasar. Suasana hatiku
sedang tak terlalu bagus untuk basa-basi, Keanu jadi sasaran.
Keanu : Iya, mau kesini
kamu? Makan surabi yuk..
Jennara : Boys!
Keanu : Dih kan cuma
ngobrol disini Master, ngopi… Laper juga kan, Surabi enak juga.
Jennara : Ini kita lagi
ngobrol. See you..
Keanu : Marah kan kan
kan.. Becanda.
Jennara : Lucu.
Tak
ada tanda-tanda Keanu merespons pesanku lagi. Entah apa yang aku pikirkan malam
ini, hati dan pikiranku benar-benar sedang tak sinkron. Harusnya aku tak
bersikap seperti itu. Keanu taka da hubungannya dengan semua ini, dia tak harus
aku jadikan sasaran kekesalanku. Jelas-jelas aku yang sedang sendirian disini,
harusnya Keanu adalah juru selamatku dari segala keheningan ini. Setidaknya aku
tak hanya berbicara dengan diriku sendiri. Sebenarnya hatiku tak peduli andaikan
Keanu tak bercanda sekalipun, aku ingin sekali langsung meluncur ke tempatnya.
Dimanapun dia berada, aku ingin segera kesana yang jelas aku tak sendirian.
Namun pikiranku masih mengumpatkan sejumlah makian terhadap Senja yang kali ini
agak sedikit keterlaluan. Sebenarnya, aku lebih memilih perang besar-besaran
dibandingkan ditinggalkan dengan perang sedingin ini, sendirian. Sepertinya
Keanu memang masalah baru bagiku dan kekacauan dalam pikiranku sudah menemukan
titiknya. Aku segera membuang jauh-jauh pikiran seperti itu. Untuk Keanu,
pastilah mudah menarik hati perempuan. Aku hanya kesepian, itu saja. Aku
meletakkan handphone dan menarik selimutku. Tak terasa air mataku mengalir, berbagai
hal berkecamuk dalam pikiran. Ketertarikan akan Keanu, hubungan dengan Senja,
semuanya menjadi satu. Sampai akhirnya fisikku tak lagi sanggup menampung semua
pikiranku malam ini sehingga akupun tertidur dengan pulasnya.
Sayup-sayup
kudengar suara orang berbicara dan banyak keramaian. Aku mencoba mencerna
percakapannya dan ternyata itu hanyalah suara tv yang tak sempat
kumatikan. Aku memicingkan mataku, berusaha
menghindari cahaya yang menyilaukan. Aku baru sadar, semalam tak sempat kututup
gordeng jendela kamarku, wajarlah jika pagi ini aku dihujani ribuan cahaya. Aku
sontak langsung menutupnya dan masuk ke dalam selimut lagi. Walaupun tidurku
pulas entah mengapa aku bangun seperti orang yang terengah-engah, aku kelelahan
dan tidur lagi.
Handphone-ku
bergetar dengan volume ringtones nya nyaring sekali, aku langsung terbangun.
Kulihat jam di dindingku sudah menunjukkan pukul 4. Aku kebingungan, 4 sorekah
atau jangan-jangan sudah jam 4 pagi lagi. Aku mencari-cari handphone yang kini
sudah tak lagi mengeluarkan suara-suara bising. Kulihat ada 11 panggilan tak terjawab,
36 notifikasi BBM dan 5 message di layar. Senja mungkin mencariku, setelah
kubuka ternyata nama Keanu terpampang berderet di layar handphoneku. Senyumku
otomatis terkembang, harusnya aku kecewa, bukan? Aku acuhkan panggilan tak
terjawab tersebut, aku langsung membuka notifikasi message dan applikasi BBM
nya. Disitupun berderet nama Keanu dan hanya beberapa broadcast message dari
teman-temanku yang isinya entah apa dan semuanya hanya aku read saja. Aku
berdecak kebingungan. Aku buka deretan phonebook mencari nama Senja namun sedetik
kemudian kuurungkan dan otomatis ku ketik nama Keanu di bagian search.
“Hallo…”
jawab suara disebrang telepon sana, dari nadanya saja sudah sangat terdengar
kesal.
“Hallo
Ken, aku baru bangun…”jawabku parau.
“Yah
aku udah bisa dengar dari nada suara kamu kok” jawabnya lagi masih dengan nada
kesal.
“Aku
masih pengen istirahat” aku menambahkan karena tak ingin terlalu lama
berbasa-basi.
“Eh
gak bisa… aku udah parkir disini dari 5 jam yang lalu ya Master… Rokok aja
sampe udah abis 2 bungkus!” nadanya melonjak jadi lebih kesal.
“Parkir
dimana?” aku kebingungan sambil membuka gordeng jendela kamarku dan mengedarkan
pandangan kesekitar tapi tak menemukan apa-apa di garasi ataupun di depan
pagar.
“Dekat
hotel yang kemarin aku nurunin kamu lah master, emang kamu pikir aku tau rumah
kamu yang mana apa…” kali ini dia benar-benar kesal.
Aku
tersenyum mendengar nada kesalnya. “Ya udah, kalau emang kamu udah disitu, kamu
kesini aja. Tetep parkir disitu, terus kamu jalan kaki ke Gank yang kemarin aku
masuk. Nah rumahku deretan nomer 3 dari tikungan, cat orange pagar hitam. Aku
tunggu di teras” kataku panjang lebar.
Kamarku
memang terpisah dari rumah utama, tepat berada di paling depan dan punya
connecting door sendiri yang langsung mengarah ke garasi dan teras. Ku buka
lebar-lebar jendela dan pintu kamarku sengaja kubiarkan udara segar masuk
kedalamnya. Kuputar lagu untuk meningkatkan sisa semangat hidupku yang baru
saja aku mulai sore ini.
When I can’t see
right in your eyes
When I’m
surrounded in the craziness of time
When you’re
understanding is trying hard to stand still
When I wear layers
of my pride you should..
Undress me…
Undress me…
Unlock this
chain and set me free
Remind me to be
myself(Anggun –
Undress Me)
Aku
bergegas ke westafel, menggosok gigiku dan membasuh mukaku alakadarnya, masih
dengan baju tidur yang melekat di tubuhku, aku memandangi cermin yang ada di
hadapanku. Wajahku agak sedikit pucat namun kuabaikan. Aku mengambil Teh kotak
dan membakar rokok, duduk di sofa teras rumah sambil memandangi sore yang
cemerlang sehabis hujan.
Aku
merasakan badai akan segera datang, namun aku tak terlalu menghiraukan. Aku
terlalu terlatih hanya untuk urusan sekedar terjebak dalam urusan percintaan.
Namun pilihan yang aku ambil sekarang mengharuskanku untuk mengambil segala
resikonya. Kehidupan yang baru saja aku bangun sekarang atau kembali menjadi
Jenna yang tak punya hati nurani, karakter yang aku buat sendiri yang mampu
menyamarkan kelemahanku akan dilemma kehidupan yang tak pernah sederhana.
Kali
ini aku memutuskan untuk tetap berdiri disini, tak akan beranjak apalagi
melarikan diri lagi. Jika hujan tak menghalangimu untuk tetap masuk dalam
kehidupanku, mungkin badai akan menghentikanmu. Hingga saat itu tiba, aku akan
tetap berada disini. Melihat apapun hasilnya, aku tak akan membalikkan diri.
Tak
lama kemudian Keanu tiba diujung pagar sambil memasang muka yang kesal, tapi
tetap menawan dan aku suka. Seperti biasa, dia tak pernah kemana-mana
sendirian. Paling tidak, selalu ada sahabatnya yang mengikutinya, Meow. Aku
sedikit iri dengannya, aku jadi merindukan teman-temanku. Disini, aku tak
terlalu banyak mempunya teman dekat. Semuanya hanya kenal alakadarnya saja.
Yang aku punya hanya Senja yang kini menghilang entah kemana. Aku tersenyum
tanpa beranjak dari tempat dudukku. Keanu bersama Meow pun masuk karena memang
pagarnya sudah tak ku kunci. Aku menyiapkan ketahanan telingaku dari sederetan kata serangan yang biasa keluar dari
mulut bawelnya.
“Assalamualaikummm………….
Jenna kamu tidur apa pingsan?” ternyata Meow yang mulai duluan.
Keanu
hanya mengangguk-ngangguk sambil kemudian menyerahkan bungkusan plastik yang
isinya Teh Kotak. Waduh! Pikirku.
“Waalaikum
salam.. Aku cuma kecapekan aja kayaknya, duduklah.” Kataku sambil mengambil
bungkusan yang Keanu sodorkan.
Tak
sengaja tanganku bersentuhan dengan tangan Keanu. “Wow, kamu demam master,
tanganmu panas banget!” Keanu langsung menampelkan telapak tangannya di dahiku.
Aku tak merespon apa-apa, hanya menggelengkan kepalaku.
“Duh
iya, ini sih demam tinggi!” kata Keanu kepada Meow, mimik wajahnya serius
sekali.
“Minum
obat Jen, istirahat lagi aja. Mukamu pucat begitu” Meow menambahkan.
“Aku
gak apa-apa kok, Cuma emang agak gak enak badan aja mungkin karena kebanyakan
tidur jadi agak pusing” kataku kemudian. “Makasih ya Teh Kotaknya” aku melirik
ke arah Keanu yang sedang memandangiku.
Keanu
hanya mengangguk dan mengedarkan pandangannya ke dalam rumah dan kamarku yang
pintunya sengaja kubiarkan terbuka. “Itu Teh Kotak tinggal sisanya aja, tadi
sih hampir ada sekardus. Gara-gara nungguin kamu, kita minum sampai sisa
segitu.” Katanya tetap pada topik awal kekesalannya. Aku hanya tersenyum.
Meow
sibuk melihat-lihat keadaan rumahku juga, namun sedikit frontal karena dia
berjalan masuk kesana kemari.
“Pada
kemana ini orang? Kok sepi banget?” tanya Keanu akhirnya.
“Udah
masuk musim liburan, jadi mereka semua pada pulang ke Kampungnya
masing-masing.” Jawabku.
“Senja
juga?” Meow menambahkan.
Aku
terdiam sejenak, “Iya” kataku datar. “Kamu kenal Senja ya?” tanyaku kemudian.
“Ya
kenal lah, siapalah yang gak kenal Senja, vocalis band ganteng yang famous di
kampus walaupun jarang banget ke kampus, Keanu juga udah pasti kenal. Senja
juga pasti kenal kita-kita kok,” jawaban Meow benar-benar bukan jawaban yang
aku harapkan.
“Terus
kamu dari semalem sendirian di rumah?” tanya Keanu memotong pembicaraan.
Aku
mengangguk pelan.
“Gak
takut apa Jen? Rumahnya gede gini mana jadul potongannya. Horror nih… Merinding
aku” Meow mengernyit sambil menunjukkan tangannya ke arahku.
“Ini
apaan sih, kalian tim yang mau memburu hantu? Percuma pasti gagal, gak ada
hantu disini dan rumah ini sama sekali gak menakutkan” aku nyerocos panjang
lebar, padahal tak dipungkiri aku memang penakut.
“Aaaaaaaaaaaaaaaaak
masteeeeeeeeeeeeeeeer aku bilang tadi udah nunggu diparkiran Hotel depan sana
sekitar seabad dan kamu gak bahas juga???????” Keanu membuyarkan obrolannku
dengan Meow.
“Kamu
ini emang pinter banget ya cari perhatian.” Aku ngeles sebisa mungkin, ada
perasaan tak enak dalam hatiku namun juga senang karena ternyata masih ada
orang yang mencari aku.
“Iya
lho Jen, padahal udah aku ingetin supaya kita balik lagi aja. Lagian suruh
siapa dia main nyelonong dateng aja ya padahal belum ada kabar” kata Meow masih
sibuk dengan tour-nya di sekitaran rumah, Keanu hanya diam dengan wajah yang
kesal.
“Mungkin
dia cuma khawatir Meow…” ucapan itu meluncur saja dari mulutku.
“Enak
aja khawatir, aku tuh orangnya on time, kalau emang ada janji aku pasti
langsung cepet siap-siapnya.” Katanya mengalihkan, wajahnya tertimpa cahaya
sore dan aku tau pipinya merona.
“Ya
khawatir juga gak apalah Ken…” aku menggodanya lagi.
“Ya
emang khawatir tau Jen, disuruh balik dulu aja gak mau. Dia bilang tungguin
sampai bener-bener ada kabar dari orangnya” Kini Meow mulai focus dengan Keanu tak
lagi dengan rumahku yang kosong.
“Jadi
gini ya, aku daritadi di mobil cuma minum Teh kotak. Aku laper.” Keanu kini
berdiri dan mulai bertingkah.
“Ya udah yuk, kita keluar cari makan?” aku
menambahkan sambil tersenyum
“Gak,
kita makan yang ada aja, kalau bisa delivery aja deh” Keanu memandangiku dari
ujung kaki sampai ujung kepala dengan nada mencibir.
“Okay
aku mandi” aku sadar dan mengehla nafas panjang.
“Gak!
Mana nomer telepon delivery ordernya, kita disini aja.”katanya lagi.
“Ya
aku gak mungkin juga pergi pakai baju tidur gini lah Ken..”kataku berusaha
mengusir sedikit kekesalannya.
“Gak
Master! Kamu itu sakit, pasti belum makan dari kemarin karena baru bangun
barusan. Jadi kita diem disini aja, pesan makan sekarang. Masalah selesai.” Dia
nyelonong masuk ke dalam kamarku dan mulai merebahkan diri di karpet di depan
tv.
Aku
tersenyum ke arah Meow yang daritadi juga tersenyum memperhatikan. Aku senang
sekali mendengarkan celotehannya, sudah lama sekali aku tak mendengarkan omelan
atau umpatan kekesalan. Aku baru sadar, Keanu memperhatikanku. Mungkin dia
hanya tak ingin partner bisnis barunya mati. Hal itu membuatku geli dan tertawa
sendiri. Akhirnya aku menelpon delivery order dari tempat makan terdekat. Harus
aku akui, Keanu benar, aku tak makan sejak kemarin sore dan itu membuat perutku
protes sekeras-kerasnya.
Akhirnya
sore itu kehidupanku baru benar-benar dimulai. Walaupun kami hanya bertiga,
namun suasana ramainya membuatku aman. Menjelang malam, hujan kembali membasahi
bumi. Bau tanah yang tersiram airnya membuatku begitu nyaman. Kami bertiga
berkumpul di kamarku, sambil mengobrol dan menonton DVD. Tak terasa malampun
merambat dan kali ini sudah film ke-4 yang selesai kami tonton. Aku hanya
berbaring di atas tempat tidurku, mebolak-balikan handphone berharap ada pesan
dari Senja, aku sedikit khawatir karena hingga detik ini masih belum ada kabar
darinya. Keanu dan Meow berbaring di karpet di hadapan TV. Kulihat Meow sudah
tertidur pulas kekenyangan, sementara Keanu masih sekarang sibuk mencari-cari film
ke-5 untuk di tonton lagi. “Udahan ah film horrornya, sekarang agak drama
sedikit” katanya berbicara entah pada siapa. Aku hanya tersenyum melihat
tingkahnya.
“Udah
jam segini, kalian tidur sini aja yaa hujannya awet juga” kataku akhirnya.
“Ya
iyalah Master, emang aku keliatan kayak orang yang siap-siap mau pulang apa?
Lagian aku males juga balik ke Hotel” jawab Keanu sambil kembali merebahkan
dirinya dan focus kembali kepada film pilihannya. Kali ini dia menonton film
500 Days of Summer.
Aku
membetulkan letak tubuhku, kini aku duduk memeluk bantal tepat ke arah Keanu
yang posisinya berbaring di bawah tempat tidurku. “Kamu kenapa sih gak pulang
ke rumah aja malah nginep di Hotel?” aku penasaran juga.
“Kenapa?
Kamu pikir aku becanda ya kalau aku gak pulang ke rumah?” Keanu malah balik
bertanya, wajahnya tetap focus kepada film di depannya.
“Yah
enggak, rumahmu tuh disini yah aku aneh aja sampe kamu gak balik gitu gimana
ceritanya?” tanyaku lagi.
“Lagi
ada kakak aku di rumah, aku males. Dia tipe orang yang suka cari perkara,
lagian aku lebih suka sendirian kayak biasa”, jawabnya.
“Aku
gak yakin kamu suka sendirian, kemana-mana kamu gak pernah sendirian. Selalu
ada temennya kok. Sendirian itu kayak aku kemarin malem, nah itu baru
sendirian.” Kataku tak mau kalah.
Kali
ini Keanu membalikan badannya, wajahnya menengadah ke arahku“Yah suruh siapa
kamu gak nyusulin aku aja”, Keanu tertawa seolah dia menang.
Aku
berdiri bergegas ke dalam rumah mencoba mengacuhkannya.
“Mau
kemana kamu?” Keanu mengikuti dari belakang.
“Cuma
mau ambil extra bed, gak tega aku kalian tiduran di karpet.” Kataku.
Tanpa
diperintah, Keanu langsung mengangkut extra bed yang ada di tengah rumah. Yang
sengaja selalu digelar karena rumah ini memang tak pernah sepi pengunjung jika
penghuninya lengkap. Aku terdiam mematung memperhatikan gerak-geriknya, pria
ini walaupun selengean tapi tak pernah membiarkanku melakukan apa-apa
sendirian, kali ini aku merasa dibutuhkan dan diperhatikan. Dia langsung
menyuruh Meow untuk bergeser dahulu dan menaruh kasurnya di atas karpet. Dengan
setengah sadar Meow hanya mengikuti perintah, kemudian lanjut tidur lagi. Keanu
mengambil rokoknya dan berjalan ke teras kemudian duduk di sofa.
Dia
mulai menyalakan rokoknya dan menggaruk-garuk punggungnya,“Disini enak juga
yaa, sepi gak seramai pemukiman biasanya.” Katanya kemudian.
Aku
berdiri di daun pintu dan mengiyakan masih sambil terus memperhatikan
gerak-geriknya. “Biasanya cuma rumah ini aja yang ramai. Rumah sebelah itu
kosong, aku juga gak tau udah berapa lama kosongnya. Dan yang di depan juga
penghuninya jarang keluar. Jadi yah masing-masing aja walaupun keliatannya
padat” kataku.
“Padahal
kan aku bisa parkir di garasi sini, kenapa kamu malah suruh aku parkir jauh?”
tanyanya sambil menghisap rokok.
Aku
tak menjawab, hanya menikmati suasana malam yang terasa sangat nyaman sekali.
“Takut
Senja salah paham ya?” sambung Keanu.
“Hubungan
aku sama Senja lagi gak terlalu baik Ken..” akhirnya aku membuka suara.
“Lho?
Kenapa?” Keanu mulai penasaran.
Aku
menghampiri Keanu dan duduk disebelahnya. “ Yah gak kenapa-kenapa, emang harus
lagi ada masalah aja kayaknya. Kalau ditanya kenapa, aku juga bingung
jelasinnya. Udah 2 hari ini kita lost contact, semenjak dia pulang” kataku.
“Mungkin
dia sibuk sama pacar barunya kali disana” Keanu mencoba bercanda, namun itu tak
lucu dan aku tak perduli.
“Aku
gak mau ambil pusing. Apa yang lagi aku jalananin sekarang, ya sekarang aja.”
Kataku datar.
“Yah
jangan sedih dong Master, aku Cuma bercanda” Keanu menepuk-nepuk pundakku.
“Sedih
bukan nama tengahku” kataku mencoba tegar.
“Iyaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa
Noersyaaaaaaaaaaaaaaaaaaaah………………..” Keanu setengah berteriak gemas.
“Ehhhhhhhhhh
darimana kamu tau nama tengahku???” kataku kebingungan. Di Bandung ini Jennara
saja, cukup.
Keanu
mematikan rokoknya dan menarik tanganku. “Yuk ah tidur, udah malem. Besok kalau
kamu udah enakan kita ke pabrik sepatunya temanmu itu” katanya sambil
mengecheck dahiku lagi.
“Sorry
yaa Master, gara-gara main hujan kemarin pasti tuh kamu jadi demam”, kalimatnya
terdengar tulus, masih dengan menggenggam tanganku.
Wajahku
datar, aku hanya mengangguk pelan dan tubuhku sedikit gemetar. Atau, memang
hatiku yang berdebar, kencang sekali.
Keanu
tak berkata-kata lagi, dia melepaskan genggaman tangannya dan merebahkan
tubuhnya, menutupnya dengan selimut. Aku memperhatikannya, dalam hatiku aku
merasa sangat nyaman. Pikiran tentang Senja sejenak aku singkirkan, aku hanya
ingin menikmati malam yang begitu tenang seperti sekarang. Aku memperhatikan
Keanu yang menghadap ke arahku. Terbaring dibawah tempat tidurku dan sudah
menutup matanya. “Tidur Master… jangan laitin aku terus, nanti suka”, katanya
dengan mata tertutup. Aku gugup namun tetap berusaha tenang, tak kusangka
walaupun lampu sudah kumatikan dia masih dapat membaca mataku. Aku membalikkan
posisi tubuhku menghadap kedinding, berharap malam ini tak cepat berakhir.
Beberapa
bulan lalu, aku tidak pernah membayangkan kehidupanku akan berada dititik
seperti ini, lagi. Aku pikir kehidupan baru yang jauh dari masalalu dan punya
orang seperti Senja akan membuatku merasa aman. Namun aku sadar, aku tak bisa
terus bersembunyi terus karena pada akhirnya aku berdiri di atas kakiku
sendiri. Kali ini aku putuskan untuk menjadi diriku sendiri lagi, yang utuh.
Apapun masalah yang sedang aku hadapai, tak akan lagi aku melarikan diri.
Apapun perasaan yang sedang aku alami, akan aku utarakan tak akan aku simpan
sendiri, lagi. Bukan berarti aku menjamin bahwa aku akan menjadi orang yang
lebih baik, setidaknya hanya memberikan suntikan positive kepada diriku bahwa
aku siap dengan segala resiko dan konsekuensi dari kehidupan yang telah aku
pilih.
Kisah
tepatnya sebenarnya aku tak ingin mengingat lebih dalam, kurang lebih bermula
saat aku masih dalam fase anak-anak. Saat aku mulai mengerti apa yang orang
dewasa katakan. Aku mulai mengerti dan mencerna mengapa selama ini aku tinggal
bersama dengan nenek ku bukan dengan orang tua dan adik-adikku. Saat aku mulai
mengerti mengapa pada saat aku masih kecil Ibuku tak pernah mengakui aku
sebagai anaknya di depan seluruh keluarga besar. Ayahku memang tak pernah
sampai sefrontal ibuku, dia tetap memperlakukanku dengan normal dan tidak
pernah menyangkal langsung di hadapanku. Aku tau, ayahku hanya berusaha
melindungi perasaanku dan aku sangat menghargai itu. Pernah suatu ketika, aku
ingin sekali bertanya kepada orang tuaku, tentang apa alasan mereka seperti
itu, namun selalu aku urungkan. Seiring berjalannya waktu dan bertambah juga
umurku, aku dituntut untuk lebih dewasa dalam menyikapi semuanya. Aku dipaksa
mengerti semua keadaan yang serba rumit itu. Entah dosa apa yang telah orang
tuaku perbuat dimasa lalu sehingga rela menyakiti batinku tanpa mereka sadari.
Seperti air yang mengalir, keluarga besarku mulai mengenaliku satu persatu,
tanpa aku tau alasan yang sebenarnya, aku hanya mengikuti alur. Walaupun
semuanya sudah dalam keadaan normal, dilubuk hatiku yang terdalam aku tetap
mengharapkan penjelasan langsung dari kedua orang tuaku, khususnya Ibuku.
Karena sejak kecil, aku sungguh sudah kehilangan sosok Ibu yang harusnya
menjadi pelindung bagi anak-anaknya. Sosok ibu menurutku tak lebih dari seorang
monster yang mungkin sanggup memakan anaknya sendiri. Beruntunglah aku
mempunyai nenek yang senantiasa sabar membesarkanku dan menjadikanku anak yang
tidak semena-mena dalam bertindak. Sehingga aku bisa menahan segala luapan
emosiku hingga detik ini. Sosoknya sangat berperan penting dalam pertumbuhanku,
dan cukup menggantikan sosok Ibu yang hilang dari ingatanku. Kata maaf dari
mereka masih sangat aku harapkan hingga sekarang, walaupun aku tau itu tidak
akan pernah terjadi.
Nah
bagian intinya tepat pada saat aku lulus SMA, aku terpaksa berkuliah di Jakarta
dan tinggal dengan keluargaku. Lingkungan yang asing, lingkungan yang baru
untukku tidak pernah benar-benar membuatku nyaman. Aku selalu merindukan
masa-masa aku tinggal bersama nenekku, karena setelah tinggal bersama
keluargaku, kenyataan bertambah pahit saja. Ibuku selalu membeda-bedakan
perlakuannya antara aku dan adik-adikku. Pernah suatu ketika, entah karena apa aku
sedikit lupa, bajuku yang selesai dicuci sengaja dipisahkan dari baju lainnya.
Ibuku memerintahkan pembantuku untuk tidak mensetrikanya. Aku hanya bisa
mengelus dada pada saat itu. Sudah seperti kisah klasih Cinderella, bedanya aku
menerima perlakuan seperti itu dari Ibu kandungku sendiri bukan dari Ibu Tiri. Itu
hanya contoh kecilnya saja, contoh lainnya tak sanggup aku ingat satu persatu
karena terlalu menyakitkan. Sebagai anak pertama, aku hanya mencoba mengerti,
aku berpikir positif, mungkin Ibuku hanya ingin mengajarkanku menjadi perempuan
yang mandiri dan kuat. Bagian yang itu aku ambil hikmahnya sampai sekarang.
Kesan yang Ibuku tinggalkan ternyata tak selalu buruk, pikirku. Aku selalu
cemas jika Ayahku tak berada di rumah, bukan karena Ibuku suka memukul, tidak.
Beliau tidak pernah memukulku sama sekali. Hanya saja aku selalu berpikir,
Ibuku tidak pernah melihatku sebagai anak, namun sebagai musuh. Apapunn kalimat
yang selalu dia keluarkan, selalu saja mendarat di hatiku dengan tak mulus dan
itu sangat menyakitkan. Entah mengapa, hal tersebut memicuku untuk terus
melakukan percobaan bunuh diri. Hal yang sama sekali tak pernah terlintas
sedikitpun pada awalnya, kini selalu aku lakukan walaupun tak pernah berhasil
hingga detik ini karena aku selalu teringat dengan Nenekku.
Kehidupanku
di luar, berbanding terbalik dengan kehidupanku di rumah.Tidak ada kesulitan
untuk mencari teman. Aku mudah bergaul dan temanku ada dimana-dimana.
Memanfaatkan tampangku yang lumayan, mencari pacar juga bukan hal yang sulit
untukku.Hidupku berbanding terbalik 360% jika aku sudah berada di luar rumah,
seakan-akan aku dapat menggenggam dunia. Taka da satupun teman-temanku yang tau
detail masalahku. Hanya ada satu sahabatku Diana, itupun tak semuanya dia tau.
Aku pandai menutupi semuanya karena aku paling mahir dalam hal bersenang-senang.
Perhatian yang tidak aku dapat di rumah aku dapatkan di duniaku sendiri. Aku
tak pernah sembarangan bermain hati, kadang aku sangat ingin seperti gadis
remaja yang beranjak dewasa lainnya, yang terkadang galau, ekspresif namun aku
tetap tak bisa memunculkan perasaan-perasaan seperti itu secara natural. Hal
tersebut juga yang menjadikanku pandai berpura-pura berekspresi. Taka da satu
orangpun yang benear-benar menegtahui perasaanku sesungguhnya. Jenna tumbuh
menjadi seorang perempuan yang berhati dingin dan tak mengenal kehangatan kasih
sayang. Seberapapun sok sweet-nya pria yang mendekati, tetap saja hanya
kuhadapi dengan satu senyuman ambigu yang tak pernah seorangpun tau apa
maksudnya. Aku bisa saja berpura-pura menyayangi orang lain, hal itu aku
maksudkan hanya agar aku tak pernah kemana-mana sendirian. Di rumahku mobil
berderet lengkap dengan drivernya. Tapi aku lebih memilih kemana-mana naik
angkutan umum atau malah menumpang Ayahku yang tempat kerjanya searah dengan
kampusku. Tapi itu jarang terjadi, karena pacarku selalu siap mengantarku
kemanapun aku mau. Aku tak ingin menambah-nambah masalah lagi dengan Ibuku,
hidupku yang sekarang, cukuplah aku yang tau dan mereka tak perlu tau.
Arwah
pahlawan mungkin akan terharu melihat perjuanganku pada saat itu. Dimana aku
menghabiskan waktu semalaman suntuk untuk betrpesta dengan teman-temanku,
paginya aku harus tetap pulang seolah-olah habis mengerjakan tugas kuliah dan
kemudian berangkat ke kampus lagi. Entah sadar atau tak sadar yang jelas orang
tuaku tak terlalu mempermasalahkan hal tersebut, malah mungkin mereka tak
peduli. Sebenarnya kehidupan ini tak sepenuhnya membuatku nyaman, bukan diriku
yang seperti ini yang aku harapkan. Namun pada saat itu aku tak punya pilihan
lain.
Sampai
kemudian konflik yang sesungguhnya terjadi, Ayahku ternyata mempunyai istri
lagi. Orang tuaku memutuskan untuk bercerai. Aku tak terlalu ingin ambil bagian
dalam hal tersebut, namun sebagai anak pertama aku harus dapat menjadi contoh
yang paling tegar yang harus bisa mengobati perasaan adik-adikku yang terluka. Yang
lebih parah lagi, dengan bertambahnya kejadian itu, perasaanku terhadap apapaun
yang bernama kasih sayang seolah-olah bertambah lenyap entah kemana. Aku sempat
memutuskan untuk tak lagi mencintai pria manapun, separuh hidupku saat itu aku
habiskan hanya dengan bersenang-senang, mengabaikan kenyataan dan aku tak ambil
pusing.
Seiring
berjalannya waktu, perasaan sedih tak menentu karena kehilangan sosok berharga
dalam hidupku ternyata tak dapat begitu saja lenyap dalam pikiranku. Tak jarang
rasa rindu akan hal tersebut menyerangku tepat ke dalam hati nuraniku. Aku
ternyata hanya seorang perempuan biasa yang mencoba berjuang mati-matian untuk
mengabaikan segala rasa. Aku juga ingin sembuh dari luka batin yang selama ini
menggerogotiku dari dalam. Emosiku disni bermasalah. Aku kesulitan
mengungkapkan apa yang aku rasakan. Hingga aku akhirnya tak sanggup lagi
membendung rasa ini lebih lama lagi Aku putuskan untuk berkunjung ke psikiater
untuk membuat segalanya lebih masuk akal. Dengan hati-hati aku berdrama
secantik mungkin agar dapat berkunjung ke tempat praktek dokter tersebut tanpa
ketahuan siapapun. Namanya Dokter Elsa, lokasi prakteknya adalah di daerah Kemang,
aku memilih langsung menemuinya di rumahnya yang juga merupakan tempat
prakteknya.Ada beberapa fase yang kami lakukan, yang awalnya aku agak canggung
akhirnya aku mulai bisa terbuka dengannya. Yang aku ingat, fase awal aku
berkunjung ke tempatnya hanya kuhabiskan dengan diam selama 30 menit lalu
kemudian pulang. Setelah beberapa kali mengikuti sesi bercerita bersama Dokter
Elsa dengan sederetan tes seperti tes urin dan tes darah juga tugas-tugas yang
panjang seperti mencatat suasana hati yang aku rasakan setiap hari, pola
tidurku dan sederet list lain yang bersangkutan dengan masalah kejiwaan.
Seperti menulis buku harian saja, dan itu bukan masalah untukku karena aku
memang sudah terbiasa menulis buku harian. Bukan maksud berdrama, namun aku
benar-benar mempunyai kesulitan untuk mengungkapkan apa yang aku rasakan
sehingga aku lebih memilih untuk menuliskannya di buku harian. Akhirnya segala
yang aku alami menjadi masuk akal. Walaupun aku harus menelan kenyataan pahit
bahwa aku di diagnosis mengalami gangguan Bipolar. Perubahan suasana hati
secara drastis yang aku alami, perasaan yang terjadi ketika periode tersebut
dan kapan periode tersebut terjadi, sekarang semuanya lebih masuk akal.
Dokter
Elsa memang menjelaskan secara rinci tentang masalah gangguan tersebut, namun
aku tetap mencari tau lebih dalam di internet. Gangguan bipolar adalah salah
satu masalah kejiwaan yang membuat penderitanya mengalami perubahan suasana
hati secara fluktuatif dan sangat drastis. Tak heran mengapa pada saat aku
bersenang-senang, suasana hatiku bisa menjadi sangat murung dan moodku bisa
sampai drop secara drastis sampai-sampai aku menangis. Pada fase turun atau
biasa disebut periode depresi itulah kadang aku bisa sangat menderita
sampai-sampai selalu terlintas untuk mengakhiri hidup. Berbeda pada saat fase
naik atau mania, aku bisa sangat bersemangat dan banyak bicara. Fase itu yang
membawaku ke pergaulan dan membawakanku banyak teman-teman yang luar biasa.
Untungnya dalam-dalam masa seperti itu, aku masih mengalami keadaan normal dan
perputaran fase tersebut tak terlalu cepat terjadi dalam gejalaku. Tak sampai
memakan waktu sampai berminggu-minggu.
Salah
satu penyebab dari gangguan tersebut adalah karena stress. Banyak kasus
gangguan bipolar yang terjadi karena sering mengalami tekanan dalam hidup,
contohnya dalam kasus aku sekarang.Selain stress, gaya hidup negative juga
diduga menjadi ambil bagian dalam dampak terbentuknya penyakit tersebut,
seperti alcohol dan obat-obatan, aku dipilihan pertama dan tak jarang
mengkonsumsi obat penenang hanya untuk mengistirahatkan diriku dari segala
kehidupan yang pahit. Pengecut, memang.
Pengobatannya
sendiri tidak ada yang sebentar, itu harus dilakukan dengan jangka panjang.
Oleh karena itu, meski aku bilang pada Dokter Elsa bahwa aku dapat mengatur
emosiku sekarang, dia tetap tak menyarankanku untuk tidak melepas pengobatan
karena dirasa belum cukup. Hanya untuk menghindari efek buruknya. Seperti
percobaan bunuh diri jika aku sudah berada dalam fase depresi. Dokter Elsa berpesan
padaku untuk memperbaiki pola hidup dan tetap mengikuti terapi psikologis. Aku
ambil option pertama untuk memperbaiki pola hidup namun aku tinggalkan fase
yang kedua karena aku rasa cukup.
Setelah
aku mengetahui apa yang terjadi padaku, aku lebih banyak berdiam diri dan
merenung. Aku mulai berpikir untuk memperbaiki kehidupanku. Aku banyak
melakukan meditasi dan melakukan Yoga. Aku menenangkan diriku sendiri tanpa
bantuan obat apapun. Aku mengurangi frekuensi untuk keluar malam dan berpesta.
Karena jika aku berubah secara drastis sudah pasti pacar teman-temanku akan
mempertanyakan. Aku banyak menghabiskan waktuku di café dan membaca berbagai
macam buku. Aku iseng membuat tulisan-tulisan yang menggambarkan luapan
emosiku, aku tuangkan ke dalam sebuah cerita yang aku tulis diwaktu sengganng
dan kuberi judul Run. Awalnya pacarku, Ghanu agak sedikit heran meilhat
kebiasaanku yang sedikit kalem. Tapi lama-lama dia lupa juga karena tergerus
oleh kesibukan pekerjaannya. Berbicara tentang Ghanu, dia mengingatkanku akan
suatu moment yang tak akan bisa aku lupakan sampai detik ini.
Hingar
bingar kehidupan malam Ibukota sudah sangatlah nampak terlihat di sebuah Private
Club Ellite disebuah Hotel disekitaran daerah Senayan. Sama seperti tamu-tamu
undangan yang lainnya yang datang kesini, akupun siap untuk menghabiskan malam
bersama mereka untuk berpesta. Semenjak pengobatanku, aku jarang sekali mampir
ke tempat seperti ini lagi. Sekali-kali tak apa pikirku, hanya untuk kembali
bersosialisasi dengan teman-teman lamaku. Malam ini adalah perayaan ulang tahun
sahabatku Diana. Semua sudah aku siapkan dari jauh-jauh hari karena tak ingin
mengecewakan sahabatku di hari istimewanya.
Sayangnya,
hari itu hidupku agak sedikit berantakan karena banyak hal tak terduga yang aku
alami. Harusnya aku bisa sampai tepat waktu, tidak selarut ini, tidak dalam
keadaan berantakan dan sendirian. Namun kejadian-kejadian sejak siang itu mengacaukan
segalanya. Awalnya aku dan pacarku Ghanu, well sekarang sudah menjadi mantan,
sedang makan siang di sebuah Restaurant di daerah Jakarta Selatan sehabis
mengambil baju pesananku yang aku kenakan malam ini. Kekacauan terjadi saat
disela-sela makan siang kami, Ghanu bersikeras untuk menanyakan alasanku selalu
menolak keseriusannya. Pernyataan ini sudah berulang kali kami bahas, dan
hingga detik ini akupun belum menemukan alasan yang sanggup menutup mulut Ghanu
untuk tak lagi menanyakan pertanyaan serupa ribuan kali. Lagi-lagi alasan
“belum siap” menjadi alasan klise yang kulontarkan berkali-kali pula. Sepertinya
kali ini Ghanu kehilangan kesabarannya, dia tetap mendesakku dengan sedikit
emosi. Aku masih tetap tenang mencoba untuk menelan makan siang dihadapanku
saat itu, meskipun dengan pikiran yang melayang entah kemana.
Ghanu
adalah seorang pria tampan keturunan Indonesia - Turki - German yang aku pacari
sejak kurang lebih setahun belakangan
ini. Di umurnya yang tahun ini menginjak angka 29, dia sudah bisa dibilang mapan. Dia berhasil
mengembangkan bisnis otomotif milik keluarganya. Tampan, kaya raya dan cukup
dewasa. Itu semua bukan menjadi tolak ukur yang membuatku mau membangun
komitmen bersamanya. Alasan lainnya yang membuatku bertahan dan memilihnya
adalah dia tidak keberatan dengan kehidupnku yang bebas dan kesibukannya yang
luar biasa padat, memungkinkan aku untuk mendapatkan lebih banyak waktu luang
yang dapat kuhabiskan untuk bersenang-senang bersama teman-temanku dan memiliki
waktu luangku sendiri. Dia sibuk bekerja dan aku sibuk bermain, sejauh ini itu
sangat setimpal. Ditambah dengan pelayanan nomer 1 yang kudapat dari Ghanu,
yang sanggup menjadikan aku layaknya seorang Puteri Raja. Meskipun aku banyak
menghabiskan uangnya, dia tidak pernah komentar akan hal itu. Untuknya
kebersamaannya denganku sudah lebih dari cukup, karena terkadang kami juga
menghabiskan waktu untuk sesekali liburan. Suatu ketika aku mulai berpikir
keras tentang hubungan ini, mungkinkah memang benar-benar ada cinta yang
mengikat kami tak hanya sekedar uang dan libido semata. Namun hingga detik ini
tak pernah kutemukan jawabannya. Untukku itu tidaklah begitu penting, yang
jelas akupun menikmatinya dan kami bisa bertahan sejauh ini.
Semuanya
tiba-tiba berubah, ketika Ghanu mulai mengutarakan niatnya, menjadikan aku
tunangannya. Dia berencana menikahiku saat aku lulus kuliah dan pada saat dia genap berusia 30 tahun, tahun
depan.
“Jenna!
Are you listen to me, hah?” Ghanu menggoyang-goyangkan tubuhku. Seketika aku
mengerjap, sadar tak satupun ocehan yang keluar dari mulut Ghanu aku masukkan
dalam telingaku.
“Oh,
ya. Well dear, I’ve told you before. Im not ready yet.” Aku gelagapan,
kuseruput minuman disampingku mencoba untuk bersikap biasa saja.
“Alright
Jen, your body in here but your mind on another place. What happened? Kamu gak
dengerin aku ngomong daritadi?” Ghanu meratap dihadapanku dengan wajah kecewa.
“I
know, aku dengar... kamu tetap bahas tentang pertunangan kita kan?” Aku masih
bersikap sok tenang seperti biasa.
“Nope,
aku bicara tentang Ayahku yang sekarang sedang sakit dan berharap bisa bertemu
dengan calon menantunya, secepatnya.”
Aku
spontan tersedak minumanku sendiri, “I’m sorry to hear that dear”. Aku berusaha
bersimpati sebisa aku, kemudian mengelus pipi kekasihku itu.
“I
don’t need your sorry, Jen! I need you to be here, by my side and listen to
me!” Kali ini nada suara Ghanu agak sedikit tinggi, para tamu lain yang juga
sedang makan siang sontak menengok ke arah kami. Aku terus mencoba untuk bersikap
tenang, terlebih lagi menenangkan kekasihku yang kini sudah mulai tampak emosi
menghadapi aku yang sama sekali tak focus.
“Baiklah,
kita bahas ini lagi nanti yaa. Sekarang kita pergi dulu dari sini, aku udah
selesai.” Kudekatkan wajahku pada Ghanu, memberikn aba-aba bahwa ini adalah
tempat umum, dan tak seharusnya dia berteriak seperti tadi.
Ghanu
menunduk lemas dan langsung berdiri, setelah menyelesaikan billing pembayaran
dia cepat bergegas pergi. Tak seperti biasanya, kali ini dia tampak sangat
kesal, berjalan di depanku sendiri dan aku hanya mengikutinya dari belakang.
Kupercepat langkahku agar lebih sejajar dengannya. “Dear, it’s okay...
everythings fine, kamu hanya perlu bersabar.” Kataku sambil memeluknya
setibanya di parkiran. Kali ini tak ada komentar, Ghanu melepaskan pelukanku
dan bergegas masuk ke dalam mobil. Sementara aku, mulai kehabisan akal.
Di
jalan kami berdua sama-sama saling membisu. Ghanu hanya memandang lurus ke
depan dengan asa yang menerawang sambil mengendarai mobilnya dengan kecepatan
di atas rata-rata. Aku tak sanggup berkata-kata untuk meredam emosi pria
disebelahku. Terus mencoba untuk tetap tenang sambil memutar otak bagaimana
cara menghentikannya, Aku mengencangkan sabuk pengamanku dan hanya bisa berdoa
semoga semuanya baik-baik saja.Aku melonjak kaget ketika pada akhirnya Ghanu
tak mampu menyeimbangkan mobil yang meluncur sangat cepat di jalan yang relatif
agak kecil itu dan kemudian menabrak separator pembatas jalan, namun dengan
kecepatannya yang saat itu sedang di atas rata-rata, dia tidak berhenti dan
terus melanjutkan menyetir. Kali ini aku mulai kehilangan kesabaran dan
berteriak, “Ghanu, stop it!” Namun
nampaknya Ghanu tak mengiraukan teriakanku, kuedarkan pandanganku, kulihat dari
kejauhan ada sebuah Coffee Shop di sebelah kiriku. Kali ini emosiku pun
terpancing, aku tak ingin mati konyol hanya karena ulah pacarku yang sama
sekali tak bisa mengendalikan emosinya, begitu pikirku. Kubuka sabuk pengamanku
dan berusaha menggertak Ghanu. “Ghanu, stop it or I’ll gonna jump!” Kupegang
pintu mobil yang saat ini sudah tak lagi terkunci. Ghanu melirik ke arahku
namun tetap tak berkomentar apapun. "Kali ini aku gak main-main Ghanu,
cukup udah kayak anak kecilnya!" Ghanu mengehela nafasnya, sadar aku mulai
panik tak seperti biasanya. Akhirnya dia menurunkan kecepatannya perlalahan dan
mulai mengendarai mobilnya dalam keadaan normal. “Look, di depan sana ada
Coffee Shop, kita kesana dulu. Tenangkan dulu emosi kamu tuh”. Kali ini Ghanu
mendengarkan kata-kataku, dia lekas memarkirkan mobilnya di depan Coffee Shop
itu namun masih tak komentar apapun. Aku yang masih agak sedikit gemetar,
memaksakan diri untuk lekas turun dari mobil saat Ghanu selesai memarkirkan
kendaraannya dan bergegas masuk ke dalam Coffee Shop menghindari Ghanu
sebisaku, karena jujur kali ini aku sudah muak bersandiwara menghadapinya.
Ghanu dengan cepat juga mengejarku, saat aku sudah berada dalam Coffee Shop
ternyata langkah Ghanu lebih cepat dan sudah berhasil sejajar denganku kemudian
menyambar lenganku, saat dia menarikku aku reflex menghindar sehingga tanpa
sadar Ghanu menabrak waiters yang sedang membawakan pesanan untuk tamunya.
Waiters tersebut segera minta maaf dan berusaha membersihkan cairan minuman
yang mengenai kemeja yang dikenakan oleh Ghanu. Seolah tak menghiraukan
permintaan maaf waiters tersebut, Ghanu yang dari awal memang sudah emosi
padaku sekarang berteriak-teriak memaki waiters tersebut. Kesabaranku kini
benar-benar habis. "Udah Ghanu dia gak sengaja." Aku berusaha
membantu sebisaku namun Ghanu tetap tak menggubrisku dan tetap melontarkan
makian-makian kepada waiters itu. Sontak seisi Coffee Shop yang tak terlalu
besar itu menengok ke arah kami. Sadar menjad pusat perhatian, aku mencoba
meredam emosiku sendiri. “Stop it, please...” Kataku memohon. Mata marah Ghanu
kini tertuju padaku. “Is not working anymore, just over it.” Kataku setelah
itu. Ghanu memasang wajah tak habis pikir. Dia tertegun sejenak kemudian
melemparkan pertanyaan yang membuat dadaku sesak. “Jen, ever you love me?”
Wajah marah itu tiba-tiba lenyap, kini wajahnya berganti memelas. Aku bingung
untuk menjawab apa, karena selama ini aku benar-benar tak merasakan sesuatu
yang disebut cinta pada Ghanu. Aku memang suka padanya, perhatian dan segala
yang dia berikan mampu membuat wanita manapun tergila-gila pada pesona dan
ketampanannya. Tak ada satu katapun yang mampu keluar dari mulutku, aku hanya berdiam
diri, mematung. Mataku kini sedikit berkaca-kaca, kutahan sebisaku agar tak
menangis dihadapannya. Bukan karena merasa bersalah, aku hanya merasa tampak
bodoh. Ghanu yang selama ini aku kira berhasil aku kuasai, ternyata akhirnya
sadar bahwa selama ini aku tak pernah mencintainya dan datang padanya hanya
untuk bersenang-senang. Tampaknya kali ini Ghanu menyerah, dia berbalik arah
dan pergi meninggalkan Coffee Shop itu dengan kesal. Sementara aku, masih diam
berdiri memandang ke arah kepergiannya. Good bye, Ghanu. Kataku dalam hati.
Aku
mengedarkan pandanganku ke sekeliling Coffee Shop yang sebagian pengunjungnya
tampak masih memperhatikan keributan yang terjadi antara aku dan Ghanu. Entah
seberapa kacau penampilanku sekarang, aku berusaha tak peduli dan tak ambil
pusing. Biar sajalah, tak ada yang mengenaliku disini, pikirku. Aku menjatuhkan
pandanganku pada sosok pria yang sedang duduk di sofa paling pojok tepat di
arah kananku. Entah sedang sibuk apa, namun dia sendirian dan daritadi nampak
tak terlalu terganggu dengan keributan yang baru saja aku lakukan. Aku berjalan
menuju sofa disebrang tempat duduknya. Sekilas aku melihat dia memandang ke
arahku.
Waktu
sudah menunjukkan pukul 5.18 sore dan aku hampir lupa bahwa aku belum melakukan
persiapan apapun untuk datang ke acara ulang tahun sahabatku. Sudah lebih dari
satu jam aku termenung di Coffee Shop itu sambil terus menggenggam Hot Green
Tea yang tadi aku pesan dan kini sudah sangat dingin, sendirian memandang
langit yang mendung dari kaca jendela di sampingku.
Sadar
masih banyak yang harus aku kerjakan, aku kemudian bergegas pulang membersihkan
diriku dan mengambil mobilku lalu cepat-cepat ke salon langganan untuk
memastikan tampilan rambutku sesuai dengan mini dress burgundy berbahan satin
yang aku kenakan malam ini. Yah, harusnya tak seperti ini. Mood-ku berantakan,
jelas pikiraku melayang-layang.
Aku
mengerjapkan mataku, melihat keadaanku dicermin dihadapanku. Sudah hampir 30
menit aku berdiri disini sejak kedatanganku tadi, di toilet di dalam Club. Kurapikan
sedikit make up ku yang malam ini kurasa kurang maksimal. Kuambil anting perak
bermotif daun dari tas kecilku dan langsung mengenakannya. “Perfect!” Kemudian
aku pergi ke tengah pesta untuk berbaur dengan teman lainnya yang sudah
terlebih dahulu datang dengan perasaan yang tak menentu.
Pesta
malam ini sangatlah meriah. Dan yah, aku kehilangan moment puncak saat Diana
memotong kue atau tiup lilin seperti pesta-pesta ulang tahun lainnya karena
suasana sudah nampak tak karuan. Asap rokok dimana-mana tercampur dengan bau
alkohol. Di tengah sana nampak Diana yang sedang sibuk melayani hujan selamat
dari para tamu penuh dengan tawa dan keceriaan. Sebagian tamu undangan lainnya
yang juga aku kenal dan beberapa lainnya yang nampak asing bagiku sudah asyik dengan
dunianya sendiri, menikmati sajian minuman dan musik Trance yang dimainkan oleh
DJ yang yang malam ini tampak berhasil menyihir para undangan yang terhanyut di
lantai dansa. Aku melangkahkan kakiku menghampiri mereka semua, namun kepalaku
sedikit pusing dan perutku terasa mual.“Tak mungkin aku sakit dalam keadaan
pesta, come on Jenna” Aku memalingkan langkahku ke arah bar, ada seorang pria
yang duduk disitu, seperti tak asing. Aku duduk disebelahnya sambil berpikir
pernah bertemu dimana dan minta satu gelas tequila ke bartender. Aku pikir ini
bisa membuat tubuhku lebih baik sebelum aku menghadapi serentetan ocehan yang
pasti dilemparkan oleh Diana atas keterlambatanku yang kurasa fatal ini.
Kuteguk minuman yang disodorkan oleh bartender, kuminta satu gelas lagi dan
satu gelas lagi. Tepat gelas ke empat, ada tangan yang meraih gelasku.
Aku
reflex berteriak sambil menengok ke sebelahku, “Ah, I hate tequila!” seruku.
Pria
yang ada disebelahku hanya memandangku datar sambil memegangi gelas tequila
milikku, tiba-tiba aku teringat pria yang aku temui di Coffee Shop tadi sore,
dan aku baru sadar bahwa itu dia atau aku hanya berhalusinasi karena kebanyakan
minum, aku tak yakin. Baru saja aku akan menanyakan langsung padanya, tiba-tiba
sebuah tangan memeluk leherku dengan erat dan suara bising memenuhi telingaku.
“Jen,
are you thirsthy or something?” Diana sang pemilik pesta sudah berdiri
dibelakangku masih melingkarkan tangannya dileherku.
“Ah
yaa, my birthday girl!!!! Happy birthday my dear....” Aku peluk sahabatku yang
malam ini tampak anggun mengenakan helter neck berwarna merah sepaha. Rambut
panjangnya diikat keatas semua menjadikan penampilannya malam ini sangat sexy.
“Great life, great moment, more happiness come along us.” Aku membalikkan
tubuhku sejenak ke arah pria yang tadinya berada disampingku namun kini sudah
lenyap. Aku mengedarkan pandanganku kesekitar dan mencari-carinya namun tak
juga aku temukan. Akhirnya aku meminta
dua gelas minuman lagi dan menyerahkannya satu gelasnya kepada Diana...
“Toast!” Kuarahkan gelasku pada gelas yang kini digenggam Diana. Kuteguk lagi
minuman itu, perut dan tenggorokanku mulai panas dan musik malam ini tampak
sangat menyanjungku dan mengajak untuk menggoyangkan tubuhku.
“Okay,
thank you sweetheart. Tapi lo dari mana Jen, ini udah lewat tengah malam dan lo
baru datang.” Diana duduk di bangku bar sampingku sambil mengernyitkan dahinya
memandang heran ke arahku kemudian meletakkan gelas yang digenggamnya.
“Just
a little bit trouble. But everythings fine, gue udah disini sekarang kan.”
Kataku sambil terus menggoyangkan tubuhku.
“Too
late... “ Katanya lagi lemas. Aku tak menghiraukan ucapannya, kepalaku agak
sedikit berat, tak mungkin aku sudah mabuk, pikirku. Kemudian mengeluarkan
rokok dalam tasku dan mulai membakarnya. Kuhisap rokok itu berharap pusing
dikepalaku membaik namun tampaknya malah bertambah buruk. Diana mengedarkan
pandangannya ke seluruh club. “Mana pacar lo? Lo dateng sendiri?” Dia bertanya
heran.
Aku
hanya mengangguk, kuambil lagi segelas minuman. “Putus. Tonight, I'm yours”.
Dan lalu meneguknya lagi. Kumatikan rokokku, kutarik Diana meninggalkan meja
bar, kurasakan tubuhku sudah mulai sempoyongan. Lalu tanpa sadar kami membaur
dengan yang lainnya. Malam ini terasa sangat panjang, aku terus memaksa tubuhku
untuk tetap bergerak. Mencoba untuk bersenang-senang seperti biasanya. Aku
dikelilingi puluhan orang yang asyik jejingkrakan mengikuti hentakan musik.
Mereka semua berkeringat dan nampak sangat menikmata suasana pesta malam itu.
Aku sudah mulai tak sadarkan diri dan tak perduli dengan sekelilingku. Aku
sendiri hanya tertarik dengan minum, lagi dan lagi. Entah sudah berapa banyak
aku minum malam ini. Aku tak peduli, aku hanya ingin terus menggerakkan tubuhku
sampai tak sanggup lagi.
“Saat
kau berada sangat jauh... terbang tinggi... tinggi sekali... satu senyuman
masih menunggumu untuk pulang, kesini.”
- Jenna
Dari
kejauhan, cahaya orange, kuning, merah
dan hijau bergantian berkedip. Seperti spektrum warna yang indah berpendar
kemanapun bola mataku bergulir. Sangat nyaman, mataku berat nyaris sulit aku
membukanya. Namun perutku bergejolak, seperti sedang ditendang-tendang. Mual
dari perut hingga ketenggorokan. Aku tak bisa mengangkat tubuhku, seperti mata
rasa. Pikiranku sudah mulai sadar, kini aku sudah tak lagi sedang berada dalam
pesta karena suasana disini sangatlah hening. Namun aku juga tak tahu sedang
berada dimana dan kejadian apa yang menimpaku semalam. Yang aku tahu, pastilah
mabuk karena terlalu banyak minum tadi malam. Aku terbatuk, ingin memuntahkan
sesuatu namun perutku nampak kosong sehingga tak ada satupun lagi yang mampu
aku keluarkan. Perutku melilit sangat sakit sekali, kutekan dengan kedua
tanganku sambil mengerang.
“Finally,
Jennnaaa.... are you there?” terdengar suara panik mengguncangkan tubuhku
perlahan. Aku perlu memusatkan pikiranku sejenak dan akhirnya kukenali suara
yang tak asing lagi itu, Diana. Aku
mencoba membuka kedua mataku sambil terus memegangi perutku.
“Dee,
bisa air putih?” Kataku dengan suara
parau.
Diana
buru-buru mengambil air putih yang ada di meja. Dia membantu mengangkat tubuhku
karena masih kurasa terasa agak berat.
“Nah,
I feel better, Thanks.” Kataku sambil tersenyum. “Kok gue disini? Semalam ada
apa?” Aku kebingungan sambil menekan kepalaku yang berdenyut sangat hebat
ditambah kini terbalut oleh perban dan rasanya sakit sekali. Semuanya serba
membingungkan, ditambah dengan terbaringnya aku di sebuah ruangan rumah sakit
dengan tubuh yang tak bisa aku gerakkan sama sekali. Dengan keadaan seperti ini
aku tak yakin bahwa aku masih memiliki tulang yang bisa menopang tubuhku. Aku
mencoba menerka-nerka, separah inikah aku mabuk di pesta ulang tahun sahabtku
sendiri, sudah pasti sangat memalukan. Lalu mengapa aku di Rumah Sakit? Ada apa
dengan kepalaku yang dibalut perban? Ribuan pertanyaan mencengkram pikiranku
dan itu hanya membuat kepalaku bertambah pusing. Aku hanya bisa mengerenyitkan
dahi untuk mecoba menahan sakitnya.
“Semalam
ada apa?” Diana mengembalikan pertanyaan itu padaku, melepaskan tubuhnya disofa
yang ada disampingku sambil menopangkan dagunya di kasur tempat tidur.
Dari
pertanyaannya, sudah bisa kuterka bahwa aku melakukan hal yang tak biasanya aku
lakukan. Malam tadi, Diana tepat berumur 24 tahun, dia sahabatku sejak di SMP.
Tak terasa kami sudah tumbuh bersama, sedikit banyak dia mengetahui tentang
diriku. Begitupun sebaliknya. Walaupun kami sempat berpisah karena harus
menyelesaikan SMA di sekolah yang berbeda, namun kami masih sering menghabiskan
waktu bersama. Ada masa kami sama-sama kehilangan contact, karena Diana
melanjutkan study-nya di Australia sementara aku tetap tinggal di Jakarta.
Lagi-lagi nasib mempertemukan kami, sudah sekitar 4tahun lebih kami tak bertemu
akhirnya kami secara tak sengaja bertemu kembali. Dua orang sahabat, teman
kecil yang sama-sama seperti orang baru kembali dari peradaban yang sangat jauh
dan membawa cerita-cerita baru yang tak pernah kami duga sebelumnya. Namun
sejauh apapun perubahan itu, kami tetaplah kami yang dulu. Sifat kami sangat
berbeda dan banyaknya perubahan yang ada tak jadi masalah, aku bahagia memiliki seorang sahabat
sepertinya. Persahabatan kami yang cukup lama, lumayan membuat Diana sedikit
banyak tau jika ada satu kejanggalan yang aku lakukan. Pasti karena mabuk di
pestanya semalam ini yang membuat dia sampai bertanya. Aku memang sangat
menyukai pesta. Dunia gemerlap yang biasa kami datangi bersama, tak pernah
membuat aku sampai sekacau ini. Separah apapun suasana, aku pasti bisa
mengendalikan diriku. Malam itu berbeda,
entah mengapa aku melepas pertahanan yang selama ini aku jaga. Mungkin karena
factor pola hidupku yang sudah sedikit banyak berubah sehingga aku perlu
beradaptasi kembali. Dan benar-benar ingin melupakan bahwa aku ini adalah
Jenna.
“Nothing
wrong with me, just a little bit hangover I guess.” Sebelum dia sempat protes,
aku kembali menambahkan. “Pesta lo semalem, keren Dee!”
Akhirnya
dia mendongakkan kepalanya dan melirik kearahku dengan tatapan yang sangat
menelisik. “Pesta itu dua hari yang lalu, bukan lagi semalam Jen!” katanya
kemudian.
Aku
sedikit terperanjak mendengar jawaban Diana. Aku memijat-mijat kepalaku yang
masih sangat pusing dan sakit sekali. Aku mencoba menahan rasa sakit yang
sangat hebat itu dengan memejamkan mata. “So, gue tidur udah dua hari, ya kan?”
Kataku sambil tersenyum.
“Itu
bisa dibilang pingsan atau koma, bukan tidur!” Diana beranjak dari tempat
duduknya dan berdiri di depan jendela menghadap keluar.
Diana
memandangku sekilas. Ada keprihatinan yang jelas tergambar dari raut mukanya.
Entah untuk bagian yang mana, namun aku sama sekali tak tertarik untuk
menerka-nerka atau bertanya balik padanya. Luka dikepalaku, aku yang kini
terbaring di rumah sakit, arghh... ini benar-benar membuat kepalaku menjadi
tambah sakit. Semakin aku berusaha keras mengingat apa yang terjadi, kepalaku
semakin pusing. Tiba-tiba sekelibat tatapan sederhana itu muncul, hanya itu
yang kuingat, sedikit melegakan hatiku yang terlanjur bilur. Tatapan mata yang
hangat menyejukkan milik pria asing yang kutemui di Coffee Shop. Seingatku,
semalam aku bermimpi dia datang padaku dan membantuku berdiri. Aku ingin
mengucapkan terima kasih namun sesaat kemudian dia sudah lenyap tanpa aku tau
namanya. Ah, hanya mimpi! Begitu pikirku. Aku melemaskan seluruh otot
ditubuhku, masih tak dapat bergerak dari tempat tidurku mencoba mencerna
kejadian yang aku alami. Semakin berusaha keras aku mengingat, semakin aku
tidak tau apa-apa. Tersiksa sekali dibagian ini, dimana semua perasaan
berkumpul menjadi satu. Sakit seluruh tubuh dari ujung kaki sampai ujung kepala
bisa kurasakan, namun lebih sakit lagi luka di kedalaman hatiku yang sangat
dalam. Entah itu apa, yang jelas perasaan ini terlalu absurd dan sulit untuk
aku definisikan. Terlalu rumit unuk dapat kurangkum dalam kalimat sederhana.
Sehingga aku memilih untuk memejamkan mata dan tertidur lagi, menghindari
pertanyaan-pertanyaan yang sudah pasti akan dilemparkan oleh Diana.
Suara
orang mengobrol menarikku ke kenyataan, aku membuka mataku perlahan berharap
hal tadi hanya mimpi, namun lagi-lagi aku harus kecewa. Karena memang disinilah
aku terbaring, di rumah sakit.
“Good
afternoon miss….” Diana tersenyum dengan sangat manis menyenderkan tangannya di
tempat tidurku.
Aku
melihat berkeliling di ruangan itu berdiri dua orang laki-laki, yang satu tak asing
karena aku sudah mengenalnya, Bayu pacar Diana yang merupakan anak pengusaha
dari Jambi. Dan yang beridiri disebelahnya… aku sudah tak asing juga, dia pria
yang aku temui di Coffee Shop sore kemarin, atau 2 hari lalu, entahlah aku tak
mau tau. Aku menelan ludahku dan mulai mencerna semua kejadiannya, aku ingat
sekarang. Aku mengalami kecelakaan yang fatal dan pria itu memang membantuku
saat aku berusaha keluar dari mobil dengan merangkak, aku tidak sedang
bermimpi.
“How’s
bad.. Dee…” tanyaku pada Diana dengan menunjuk kakiku yang tak dapat aku
gerakkan.
“Gak
usah khawatir, kata dokter itu Cuma efek traumatis. Kakimu agak retak,
tapi nanti bisa di train jalan lagi
kayak bayi”, Diana cekikikan aku agak sedikit lega, aku pikir seperti di sinetron-sinetron
yang aku kemudian menjadi lumpuh dan hidupku berakhir dikursi roda. Hal itu tak
terjadi dan aku bersyukur.
Bayu
tersenyum ke arahku, aku tersenyum balik kepadanya dan melirik pria yang sedari
tadi hanya diam memperhatikan. “Jen, ini Senja temen SMA gue di Jambi.” Kata Bayu kemudian.
“Kalian udah pernah ketemu kan? Dia baru datang dari Bandung 3 hari yang lalu,
sengaja gue ajak ke ulang tahunnya Diana, buat nebus kesibukan gue ninggalin
dia terus selama di Jakarta”, kata Bayu menjelaskan pria di sebelahnya. Aku
tersenyum, mendengarkan. Lidahku masih terasa kelu.
“Untung
ada Senja lho, kalau gak kita pasti gak akan tau kabar keberadaan lo pasti lagi
abis kecelakaan. Secara abis pesta gak ada yang sadar semua”, Diana menambahkan
sambil mengupas Apel disebelahku dan menyodorkannya ke arah mulutku. Aku
memakan buah apelnya mengunyahnya dengan malas.
“Terima
kasih”, kataku smabil terus mengunyah Apel yang kini memenuhi mulutku.
“Lo
terima kasih sama gue karena nyuapin lo Apel apa sama Senja?” kata Diana
sedikit meledekku.
Aku
tersenyum tak memberikan jawaban apa-apa.
“Oh
iya, gue sama Bayu mesti pergi dulu. Nyokap sama Bokap lo disini dari kemarin
pas lo masih belum sadar, tapi sekarang mereka lagi pulang dulu. Katanya nanti
kesini lagi, gue udah kabarin kalau lo udah bangun.”
Aku
terkesiap mendengarnya, apa yang orang tuaku pikirkan jika mengetahui
kelakuanku yang acak-acakan. Walaupun aku tak begitu menyukai mereka, aku tetap
mengkhawatirkan imageku.
“Tenang,
gue bertanggung jawab penuh kok”, kata Diana melanjutkan. “Gue bilang lo
ngantuk abis ngerjain tugas kampus, jadi semua clear!” Diana mengedipkan
matanya.
Aku
benar-benar lega mendengarnya.
Diana
dan Bayu akhirnya berpamitan kepadaku dan kepada Senja, aku agak sedikit heran.
Bayu bisa membaca maksud wajahku. “Senja stay disini kok Jen, jadi kalau ada perlu
apa-apa, kamu bisa minta tolong dia. Gue cuma sebentar sama Diana, bawain lo
baju ganti juga.” Katanya sambil tersnyum.
Aku
hanya mengangguk datar dan bingung harus berbuat apa, karena manusia yang
mereka sebut Senja itu hanya diam saja.
“Thanks
ya, udah bantuin aku..” kataku parau.
“Gak
masalah, kebetulan aja aku lagi disitu”, jawabnya.
“Kamu
ngapain disitu kemarin? Bukannya ikut pesta”, tanyaku kemudian.
“Aku
emang gak suka sama hal-hal yang berbau keramaian, makanya aku sedikit menjauh
buat cari udara segar”, katanya akhirnya tersenyum
“Aku
sedikit lost control..” kataku tersenyum canggung.
“Sedikit?
Kamu baru keluar parkiran dan ngebut sampe-sampe nabrak separator dan bablas ke
arah berlawan nabrak mobil lainnya gak jauh dari hotel itu namanya gak
sedikit.”
Aku
tertawa “Yah mau gimana lagi…” kataku pasrah.
Disitulah
awal mula hidupku yang akhirnya membawaku ada disini. Tidak terlalu manis, namun
sanggup mengantarkanku pada kehidupan baru yang aku jalani sekarang. Sejak saat
itu aku menjadi lebih dekat dengan Senja, dia benar-benar membantuku
memperbaiki pola hidup dan meluruskan pola pikirku yang pada saat itu
acak-acakan. Kehidupanku yang lama, bukan hanya aku kurangi tapi juga
kutinggalkan secara utuh.
Merenung
mengingat masa lalu membuatku sedikit lega, setidaknya aku tau alasanku berada
disini. Dan sejak awal Senja memang tidak pernah menyukai pola hidupku, aku
yang memaksanya masuk. Akupun masuk di kehidupan Senja yang serba santai, aku
ambil positifnya kehidupanku kini sudah banyak berubah. Misinya kini sudah
selesai mungkin, aku sudah meninggalkan kehidupan lamaku yang semerawut. Dan
jika kini Senja memutuskan untuk pergi dari hidupku, sepertinya aku sudah lebih
siap.
Kulihat
jam sudah menunjukkan pukul 5 pagi, demamku belum juga surut. Aku melihat Keanu
yang sepertinya sudah tertidur pulas, nafanya sangat berat. Begitupun dengan
Meow disampingnya. Tenggorokanku haus dan aku beranjak dari tempat tidurku,
mengambil gelas di samping tv.
“Kamu
gak tidur-tidur Master…” suara Keanu sangat berat namun agak sedikit samar.
Aku
menoleh ke arahnya. “Kebangun aja kok..” kataku sambil menenggak air putih.
“Bohong
kamu…”katanya masih dengan tubuh yang tak bergerak dan aku tak bisa melihat
matanya terbangun atau tertutup.
Tubuhku
sangat lemas, hingga malas sekali untuk berdebat. Semenjak bertemu dengan Senja
aku memutuskan untuk tak lagi bermain hati dengan pria manapun. Itu yang
membuatku bersikap biasa saja pada Keanu. Namun jika Keanu seperti itu terus,
perempuan mana juga yang tak akan terpancing. Mengokohkan tembok pertahanan
hatiku adalah tugas baruku sekarang. Semoga Keanu tak main menerobo saja. Aku
kembali ke tempat tidurku, kali ini ngantuk memang menyerangku. Akhirnya aku terlelap.
No comments:
Post a Comment